Opini

Home/Opini

Dagelan 3-0 Ala Haboburokhman

Rajin menghibur dengan kontroversi heboh yang justru menjadi lawakan konyol, sudah lama sosok petinggi Gerindra bernama Habiburokhman ini tidak muncul. Kangen juga sih. Rasa-rasanya terakhir kita dibuat ngakak berhari-hari itu saat dia mencoba mengolok-olok hasil kerja mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan mangatakan dia nyasar di Semanggi 2.

Pagi ini tiba-tiba dia muncul saat saya membuka situs berita, lagi-lagi seperti biasa, lontaran kontroversial yang justru jadi menggelikan.

Hari-hari terakhir ini perhatian kita memang cukup tersita dengan berita seputar rangkaian debat Calon Presiden yang sesi pertamanya akan digelar bulan ini juga. Dikabarkan sesi pertama ini akan membahas 3 hal penting dalam kehidupan bernegara di tanah air tercinta ini berkaitan dengan persoalan hukum yaitu hukum dan HAM, korupsi, dan terorisme.

Sebagai petinggi partai pengusung Prabowo-Sandi, Habiburokhman nampak berupaya membangun kemenangan Prabowo-Sandi lewat perang opini. Dalam berita yang dilansir portal berita terkemuka detik.com Habiburokhman dengan lantang mengklaim kemenangan telak 3-0 Prabowo-Sandi atas pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf Amin.

Soal penegakan hukum Habiburokhman menunjuk ketimpangan penegakan hukum, perbedaan perlakuan atas pelanggaran hukum yang dilakukan mereka yang terafiliasi dengan kubu oposisi dan mereka yang mendukung petahana yang saat ini memegang kekuasaan. Saat semua orang di kubu Prabowo yang terjerat kasus hukum berusaha membangun stigma “dikriminalisasi” yang artinya tidak melakukan tindakan kriminal tapi dituduh melakukan dan diproses hukum, Habiburokhman justru seolah mengakui kalau kasus-kasus itu memang pelanggaran hukum dan karenanya menggugat perlakuan yang berbeda dalam penanganannya.

Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?

Sementara mengenai HAM dia menunjuk sejumlah kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum terungkap seperti kasus Marsinah, Udin, dan Novel Baswedan. Dimana anehnya? Kasus Marsinah terjadi tahun 1993 sementara kasus Udin terjadi tahun 1996, keduanya masih pada masa pemerintahan Pak Harto. Kita tahu barisan keluarga Pak Harto sekarang berada di kubu Prabowo. Demikian juga SBY, Presiden Indonesia dengan kekuasaan terlama pasca Orde Baru yang juga gagal mengungkap kedua kasus pelanggaran HAM berat itu.

Soql korupsi, Habiburokhman menganggap banyaknya pejabat terutama pejabat daerah yang terjerat OTT KPK sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Pemikiran yang terbalik 180 derajat dari logika wajar sebetulnya. Justru keberhasilan KPK untuk “unjuk gigi” ini merupakan refleksi komitmen pemerintahan Presiden Jokowi yang memberi ruang seluas-luasnya kepada KPK untuk bekerja. Lihat saja dulu. Bukannya sibuk mengungkap kasus korupsi, malah pimpinan-pimpinan KPK dijerat kasus oleh lembaga-lembaga penegakan hukum yang bekerja di bawah kekuasaan Presiden. Apa yang terjadi dengan pimpinan-pimpinan KPK seperi Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto? Presiden yang menjabat saat itu ada di kubu mana?

Kita tahu pejabat-pejabat daerah adalah pejabat yang disokong Partai Politik untuk dipilih langsung, bukan pejabat yang ditunjuk dan dikomandoi Presiden. Mari bandingkan, jaman SBY barisan mentri, pejabat partai karena kebetulan SBY merupakan tokoh sentral di partai besutannya, sampai besan jadi pasien KPK. Lalu lihat sekarang, ada mentri Jokowi yang tertangkap KPK? Di kubu mana SBY berdiri sekarang?

Lagi ya … menggunting dalam lipatan, mendiskreditkan teman sendiri. Kalo itu dilakukan dengan kesadaran penuh namanya jahat. Kalo itu dilakukan nggak sadar, namanya bodoh.

Lalu bagaimana dengan yang tetakhir, soal terorisme? Dia menyebut “dinamika perluasan stigma radikal yang oleh sebagian orang dianggap tidak jelas metodenya“. Tentu saja yang dia wakili dengan kata sebagian orang itu ya palingan sebetulnya cuma dirinya sendiri tok. Perluasan stigma kemana? Entahlah. Jangankan kita, mungkin dia sendiri kalo disuruh nyebut paling blepotan kesana kemari seperti biasa. Tapi yang jelas golongan yang berkeinginan mengganti dasar negara dengan faham khilafah yang tumbuh besar karena pembiaran jaman SBY diberangus Jokowi. By the way, tahun ini Natal dan Tahun Baru aman lho.

3-0? He he he. Bangun oooi!

Wagub Sandi Uno Untung Besar Modali Pilkada

Mungkin salah ya, bukan Wagub Sandi Uno karena Wagub DKI sejarang masih Pak Djarot. Tapi Pilkada sudah lewat, dan meskipun KPU belum melansir pengumuman resmi, tapi dari quick count Pilkada DKI yang dilakukan sejumlah lembaga sepertinya sudah bisa dipastikan Sandi Uno dan pasangannya memenangkan pertarungan itu. Bahkan masing-masing calon sudah menggelar pidato resmi, pidato kemenangan Bang Anies dan pidato kekalahan Koh Ahok. Jadi bolehlah kalau saya sebut Wagub Sandi Uno dan Gubernur Anies Baswedan. Lagian ini blog saya koq, suka-suka saya dong. Hehehe.

Reaksi orang bermacam-macam saat membandingkan pendanaan kampanye masing-masing Paslon yang bertarung di Pilkada DKI. Tentunya sejak memasuki putaran kedua, orang memang tidak lagi memperhatikan Paslon yang sudah tersisih di putaran pertama, perhatian tertuju hanya pada dua Paslon yang maju ke putaran kedua. Menghabiskan jumlah yang “nggak beda-beda amat” dalam laporan biaya kampanyenya, kedua Paslon berbeda jauh dari sisi pendanaan. Kalau pasangan Ahok-Djarot sumber dananya didominasi swadaya para pendukungnya, pasangan Anies-Sandi hampir semua biaya kampanyenya ditanggung kocek pribadi Cawagub Sandi Uno.

Dari mana Sandi Uno punya uang sebanyak itu? Rasanya semua orang juga tahu kalau Sandi Uno memang pengusaha kaya raya. Kekayaan Sandi Uno bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilayangkannya pada bulan September 2016 lalu. Beritanya disini. Harta berupa kendaraan saja milyaran. Properti yang dimilikinya tidak hanya di Indonesia saja. Sandi Uno tercatat juga memiliki properti di Singapura dan Washington DC, nilai totalnya lebih dari 100 milyar. Angka itupun tidak seberapa karena total kekayaan Sandi Uno secara keseluruhan mencapai 3,856 trilyun. Sebagian besar kekayaan Sandi Uno berbentuk saham di berbagai perusahaan yang nilainya mencapai 3,721 trilyun.

Jadi jelas dong, kalau hanya mengeluarkan sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye mah … keciiil.

Tapi meskipun kecil secara prosentase dari total kekayaannya, tentu saja angka 100 milyar tidaklah kecil. Bahkan konon menjelang kampanye Sandi Uno menjual sebagian saham perusahaan yang dikuasainya untuk mendapatkan dana segar. Pastinya sih. Kan bayar peserta kampanye nggak mungkin pake saham. Orang susah diiming-iminginya pake sebako, bukan pake saham. Sementara itu sebagai seorang pengusaha yang “mainan” utamanya investasi, memang nggak mungkin orang sekalas Sandi Uno akan menyimpan uang sampai 100 milyar nganggur dalam bentuk tunai. Memang dalam LHKPN-nya sendiri juga harta berbentuk tunai dan setara kas lain milik Sandi Uno “hanya” 12,9 milyar rupiah plus 30,25 juta dolar Amerika. Nggak sampe 100 milyar kan.

Sandi Uno Untung Besar

Sebagai pengusaha, tentunya Sandi Uno berhitung sangat cermat. Konon namanya pengisaha itu duit 100 perak yang keluar aja mesti jelas balik dengan keuntungan berapa. Apalagi 100 milyar coy!

Pada tanggal 20 April 2017, sesaat setelah kemenangan Sandi Uno dan pasangannya dalam Pilkada DKI, Kompas memberitakan lonjakan tajam kenaikan harga saham Saratoga Capital milik Sandi Uno. Beritanya disini. Hari pemungutan suara, seperti kita ketahui, adalah pada tanggal 19 April 2017.Sore harinya kita sudah mengetahui kemenangan pasangan Anies – Sandi melalui sejumlah “quick count”. Jakarta libur saat itu. Besoknya, tanggal 20 April 2017, saat bursa saham dibuka pada pukul 9 pagi, saham Saratoga dibuka dengan harga Rp 3.700 per lembar. Hanya dalam satu jam, pada pukul 10 pagi, harga saham Saratoga melesat 14.54% menjadi Rp. 4.330 per lembar.

Sedikit ya? Cuma dari Rp. 3.700 menjadi Rp. 4.330, artinya kan cuma Rp. 630 rupiah saja. Iya kalau kita hanya bicara satu lembar. Sandi Uno tercatat menguasai 754 juta lembar saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG). Silahkan keluarkan kalkulator, hitung berapa 630 rupiah kalau dikalikan 754 juta. Dapat angkanya? 475 milyar saudara-saudara … hampir setengah trilyun. Kalau konon Sandi Uno merogoh kantongnya sebesar sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye bersama pasangannya yang “mokondo” dan partai-partai pendukungnya yang “cap jahe” itu, dan kemudian mendatangkan 475 milyar dalam bentuk kenaikan harga saham, bukankah itu untung besar namanya?

Berapa waktu yang dihabiskan Sandi Uno untuk merintis proses ke Pilkada DKI? 6 bulan? Setahun? Not bad at all ya?

Memang sejumlah analis mengatakan bahwa lonjakan kenaikan harga saham itu merupakan lonjakan sesaat, spekulasi, imbas langsung dari naiknya sentiman positif terhadap sosok Sandi Uno atas kemenangannya dalam Pilkada. Tapi kerja Sandi Uno belum kelihatan. Masih lama baru bisa dilihat kinerjanya sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat. Kalau buruk bisa saja harga sahamnya ikut turun. Tapi untuk beberapa waktu, sepertinya harga saham itu tidak akan mendadak turun lagi kecuali ada faktor lain yang luar biasa. Bahkan kecenderungannya tetap akan naik sampai nanti Sandi Uno benar-benar menjabat. Itupun kalau ternyata prestasinya bagus, sentimennya akan tetap positif, nggak akan membawa pengaruh negatif pada harga saham.

 

 

Boikot Inul? Artinya Mereka Selama Ini Penikmat Penampilan Sensual Inul?

Boikot Inul? Berarti tadinya kalian doyan? Hehehe.

Pertarungan politik di tanah air beberapa bulan terakhir terus terfokus pada Pilkada DKI untuk memilih gubernur baru yang akan memimpin pemerintahan Ibu Kota mulai dari penghujung tahun 2017 yang akan datang. Meskipun dalam kerangka “Pilkada serentak” pada saat yang sama juga digelar pemilihan Kepala Daerah di lebih dari 100 wilayah lain, rasanya seperti Pilkada kali ini hanya dilaksanakan di Jakarta saja. Rasanya tidak salah kalau kehebohannya “nyama-nyamain” kalau tidak mau menyebut “ngalah-ngalahin” pemilihan presiden dimana Presiden Jokowi akhirnya unggul tipis atas Prabowo Subianto.

Mungkin terasa lebih panas karena “gorengan” isunya yang lebih sadis. Apalagi kalau bukan petahana yang diunggulkan memiliki “kelemahan” yang kemudian dieksploitasi habis-habisan. Konyol tapi nyata, yang dieksploitasi tersebut justru faktor yang sejak lama tabu untuk dipertentangkan di tanah air, SARA. Kebetulan Ahok sang petahana yang lahir dan besar di Belitung adalah seorang keturunan Tionghoa pemeluk Agama Kristen. Lengkap sudah, semua huruf dalam akronim SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) memposisikannya sebagai minoritas.

Tidak heran kalau isu yang digoreng kubu yang berseberangan adalah yang paling sensitif, agama. Di Indonesia Islam merupakan agama yang dianut mayoritas masyarakat. Jakarta yang merupakan tempat “tumplek”-nya aneka kepentingan dari seluruh wilayah memiliki potret yang kurang lebih sama. Mayoritas penduduk DKI Jakarta beragama Islam. Tapi tentu saja menyandang status sebagai Ibu Kota yang notabene adalah barometer negara, Pilkada DKI tidak hanya melibatkan warga DKI Jakarta saja, tapi juga seluruh anak bangsa. Kalau tidak terlibat langsung sebagai pemilik hak pilih, terlibat tidak langsung secara emosi.

Di putaran pertama yang diikuti 3 kontenstan, kita pernah mendengar santernya gerakan “Boikot Sari Roti”. Pangkal persoalannya sederhana saja. Pasca gerakan menuntut penegakan hukum atas petahana yang dituduh menista Agama Islam, produsen Sari Roti membuat pernyataan yang menyebut bahwa bagi-bagi roti produksinya bukanlah bentuk dukungan Sari Roti terhadap aksi masa tersebut. Sejumlah pendukung aksi membeli Sari Roti dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya kepada peserta.

Menjelang putaran kedua, tiba-tiba muncul lagi seruan boikot yang kali ini ditujukan kepada sosok pedangdut kondang Inul Daratista. Boikot Inul! Kenapa? Sambil memuat foto dirinya bersama Ahok, Inul juga mengkritik perilaku sosok “bersorban” yang melakukan perbuatan tercela. Meskipun Inul tidak menyebut nama, memang sangat wajar kalau kita menghubungkannya dengan Imam Besar FPI, Habib Riziek, yang sempat diberitakan melakukan sesuatu yang menjurus pada tindakan asusila dengan seorang wanita yang bukan istrinya.

Tidak hanya netizen yang “bukan siapa-siapa”, bahkan musisi besar Ahmad Dhani turut bereaksi dengan menulis surat terbuka yang ditujukan pada Inul yang isinya jelas-jelas membela Habib Riziek meskipun Inul tidak secara eksplisit menyebutkan namanya.

Apa alasan mereka yang menyerukan boikot Inul? Menghina ulama hanya untuk membela seorang penista agama.

Luar biasa memang kedengarannya “kejahatan” Inul ini. Tapi terus terang saja saya bingung juga memahaminya. Mereka yang marah karena ulama idolanya “dihina”, marah karena agamanya “dinistakan”, adalah golongan Islam radikalis. Dengan tingkat radikalisme sedemikian tinggi, mestinya mereka sudah melaksanakan akidah Islam dengan sempurna. Atau nyaris sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Kurang lebih sama dengan sosok Habib Riziek yang menurut Ahmad Dhani menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya.

Entah dari mana Ahmad Dhani tahu kalau Habib Riziek benar-benar menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya. Kalau melihat umurnya, ada sekian tahun Habib Riziek menjalani hidupnya sementara Ahmad Dhani lahirpun belum. Jadi bagaimana Ahmad Dhani bisa memberikan kesaksian itu? Tapi ya sudahlah. Memang dalam ribut-ribut kontra Ahok akhir-akhir ini, memang sepertinya “kesaksian dari orang yang tidak menyaksikan” itu rasa-rasanya jadi sesuatu yang biasa terdengar di telinga.

Bali lagi ke para penyeru boikot Inul, okelah mungkin menyebut radikalis terlalu radikal, fundamentalis mungkin lebih cocok. Ya terserah saja sih sebetulnya. Tapi pada intinya adalah bahwa mereka seharusnya adalah golongan orang yang “menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya”. Kali ini pakai tanda kutip ya.

Tentunya bagi mereka ini, nonton Inul itu sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Kita tahu bahwa Inul adalah sosok wanita yang menampilkan sensualitas. Ingat dong kasus “goyang ngebor” yang kemudian jadi sangat heboh. Sejak itu memang penampilannya lebih “sopan”. Pakaiannya tidak terlalu terbuka, tapi tetap saja memamerkan lekuk tubuhnya yang memang bak gitar Spanyol itu. Goyang ngebor mungkin memang tinggal sejarah, tapi aksi panggungnya tetap sensual dan pastinya dapat “memprovokasi” imajinasi liar kaum pria.

Sekali lagi, apakah mereka boleh menonton aksi panggung Inul?

Harusnya kan tidak. Bukankah melihat sesuatu yang merangsang syahwat itu katanya “pandangan pertama rejekimu, pandangan kedua dosamu”. Artinya kalau sengajain menyaksikan penampilan Inul di atas panggung, itu kan termasuk kategori “dosamu”.

Sebagai penyanyi dangdut, tentunya kalau bicara boikot Inul artinya jangan menyaksikan penampilannya. Nah kalau begitu bukankah mereka memang tidak sepantasnya menyaksikan penampilan Inul? Terus kenapa boikot Inul? Untuk apa memboikot, menolak untuk melihat, penampilan Inul yang memang tidak boleh mereka lihat? Kalau mereka menyerukan boikot, artinya selama ini mereka merupakan penikmat sensualitas penampilan Inul. Sekarang karena Inul dianggap menghina ulama, dianggap membela penista agama, mereka mengajak untuk tidak lagi menikmati keindahan lekuk tubuh Inul lengkap dengan gerakannya yang … ehmmm.

Menurut saya, dari sudut pandang agama Islam, Inul memang salah. Bukan karena dia mendukung Ahok. Bukan karena dia mengkritik sosok yang kemudian diasosiasikan dengan Habib Riziek yang diposisikan sebagai ulama oleh sebagian kalangan. Tapi karena penampilannya yang mengumbar sensualitas. Memang banyak yang lebih “parah” dari Inul. Tapi banyak yang lebih salah tidak membuat kesalahan menjadi benar. Tapi menjadi penikmati sensualitas yang ditampilkan Inul juga tidak kalah salahnya.

Kalau begitu bukankah lebih baik diam saja. Sadari kalau itu salah dan perbaiki saja. Nggak usahlah kemudian memamerkannya dengan memboikot Inul, mengajak untuk tidak lagi menyaksikan penampilannya.

Toleransi di Bali Nggak Kayak “Cocot” Munarman

Meskipun Pilkada serentak baru-baru ini diselenggarakan di lebih dari 100 wilayah di tanah air, mata masyarakat Indonesia bahkan dunia tersorot hanya ke satu titik saja, DKI Jakarta. Keunikan dimana salah satu calon yang kebetulan juga berstatus petahana adalah seorang anggota masyarakat dari golongan minoritas – beragama Kristen dan beretnis keturunan Tionghoa – telah membuat persaingan sangat panas karena yang dikampanyekan bukan lagi soal program-program pembangunan tetapi justru serangan terhadap status minoritas “Si Cina Kafir”.

Mendukung salah satu pasangan calon, Front Pembela Islam (FPI) yang sejatinya merupakan sebuah ormas keagamaan habis-habisan menyerang Si Cina Kafir dari sisi yang justru seharusnya tidak relevan di negara yang mengedepankan kebhinekaan ini, SARA. Dalam konstelasi yang sangat panas itulah kemudian salah satu petinggi FPI yang dikenal tempramental, Munarman, diadukan ke polisi karena tertangkap kamera melontarkan pernyataan yang mendiskreditkan bahkan memfitnah masyarakat Bali yang mayoritasnya merupakan pemeluk Agama Hindu.

Karena panasnya “udara” menjelang Pilkada DKI mulai mereda seiring berakhirnya pemungutan suara yang berakhir dengan keharusan diadakannya putaran kedua sementara paslon yang didukung FPI tersisih, membahas FPI dan tokoh-tokohnya yang kecanduan kontroversi itu sudah tidak menarik lagi. Apalagi dengan ketegasan Polri mengusut kasus-kasus yang melibatkannya membuat tokoh-tokoh itu juga cenderung lebih “jinak”.

Kemarin, atau mungkin beberapa hari lalu saya terlibat obrolan panjang dengan seorang yang merupakan tokoh masyarakat di tingkat yang paling dasar sehingga berhubungan langsung dengan masyarakat di pedesaan Bali. Obrolan itu yang kemudian kembali memicu ingatan saya mengenai kasus Munarman yang sempat ramai saat dia bolak balik dipanggil Polda Bali. Nggak tau sih udah sampe mana itu kasus. Sepertinya sekarang memang jadi sepi lagi meskipun sepertinya belum ketemu ujungnya.

Pak Made, sebut sajalah namanya begitu karena toh sekitar 25% orang Bali memiliki nama itu, adalah seorang Kelian Dinas di sebuah banjar di kawasan pedesaan Bali yang kebetulan bukan merupakan kawasan konsentrasi pariwisata. Struktur kemasyarakatan di Bali memang tidak mengenal RT/RW. Kalau di kebanyakan wilayah tanah air sebuah desa atau kelurahan terdiri dari sejumlah RW, desa dan kelurahan di Bali terdiri dari beberapa banjar. Bentuk banjar ini sendiri merupakan struktur tradisional yang kemudian dikombinasikan dengan struktur pemerintahan modern.

Tokoh utama dalam struktur organisasi sebuah banyar ada dua, sesuai dengan fungsinya tadi. Seorang “Kelian Adat”, sesuai namanya, bertanggung jawab memimpin masyarakat yang tinggal di banjar tersebut dari sisi adat dan agama, seperti misalnya penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Sementara seorang “Kelian Dinas” bertugas mengelola administrasi kependudukan, keamanan dan ketertiban, serta fungsi-fungsi kemasyarakatan modern lain seperti layaknya seorang ketua RW di wilayah Indonesia lainnya.

Pak Made menceritakan bahwa di banjarnya ada sekitar 150 orang warga pendatang dari luar Bali yang kesemuanya merupakan orang Indonesia. Kawasan di mana banjar Pak Made berada memang kawasan pedesaan yang jauh dari sentuhan pariwisata. Kebanyakan penduduknya petani. Cerita berlanjut pada bagaimana mengelola interaksi harmonis antara kaum pendatang dan penduduk asli Bali yang tentunya memiliki banyak perbedaan. Agama, bahasa, standar perilaku, dan sebagainya.

Yang menarik adalah pernyataan Pak Made yang menyebut dirinya bertindak sebagai “pelindung” bagi kaum pendatang yang notabene juga merupakan golongan minoritas. Seperti umumnya banjar di Bali, ada iuran yang harus dibayar setiap bulan oleh para penduduk pendatang. Jumlahnya bervariasi, beda-beda antar banjar, tapi tidak besar juga. Banjar Pak Made mengutip 30 ribu rupiah per kepala produktif per bulan. Artinya kalau dalam satu keluarga terdiri dari satu suami yang bekerja, satu istri yang merupakan ibu rumah tangga, dan dua anak yang masih sekolah misalnya, iuran yang harus dibayar keluarga itu hanya 30 ribu rupiah saja setiap bulannya.

“Mereka membayar, artinya mereka berhak mendapat pelayanan”, ungkap Pak Made. Termasuk di dalam pelayanan adalah perlindungan, tidak terkecuali perlindungan dari bentuk intoleransi yang ada kalanya dilakukan oknum anggota masyarakat. “Orang Bali aslipun kalau salah ya salah, orang Jawa kalau benar tapi diperlakukan tidak benar ya harus dibela, harus dilindungi”, tandasnya.

Pak Made menyatakan bahwa salah satu yang menjadi perhatiannya adalah soal pelaksanaan ibadah. “Orang Jawa tidak boleh mengganggu ibadah kami, tapi ya memang biasanya begitu, mana berani mereka, kan jumlah mereka cuma sedikit”, ungkapnya. Yang menjadi kekhawatirannya justru menjaga jangan sampai pelaksanaan ibadah para penduduk pendatang yang umumnya beragama non-Hindu dapat dilaksanakan dengan tenang dan nyaman.

Oh iya, sebutan “Orang Jawa” ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bersuku Jawa atau berasal dari Pulau Jawa. Di Bali, semua orang Indonesia yang bukan orang Bali disebut “Orang Jawa”. Entah sukunya Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Ambon, Papua, dll.

Ungkapan itu yang membuat pikiran saya melayang ke kasus Munarman yang disebut pernah menuding ada orang Islam yang mau beribadah “ditimpukin” pecalang. Toleransi di Bali ini luar biasa Bung! Apa yang anda sebut itu tidak masuk akal sama sekali. Nyepi yang juga disebut Munarman, dimana seluruh Pulau Bali “dimatikan” bukanlah bentuk intoleransi masyarakat Bali. Sebaliknya, itu bentuk toleransi penduduk pendatang di Bali. Apa saat Nyepi orang non-Hindu harus bertapaberata? Kan tidak. Bisa tetap beraktivitas, hanya tidak keluar rumah. Tapi kalau kebetulan Nyepi jatuh pada hari Jumat dimana Umat Islam harus Shalat Jumat di mesjid, pecalang justru memfasilitas.

Toleransi di Bali itu indah, nggak kayak “cocot” Munarman.

 

 

Kasus Freeport: Bersatu Melawan Hegemoni Asing

Beberapa minggu terakhir ini media konvensional maupun jagat maya khususnya kanal-kanal social media dipenuhi dengan pertentangan tajam yang mengarah pada perpecahan. Mempertentangkan keyakinan Umat Islam dengan situasi politik khususnya terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, Bangsa Indonesia seolah-olah terkotak-kotak dan saling menyerang. Antara mereka yang mengklaim membela pengangut Agama Islam dan mereka yang berbeda agama, antara mereka yang menyatakan diri mewakili kaum pribumi melawan mereka yang terkahir di Bumi Pertiwi tetapi memiliki garis keturunan asing khususnya dari Tiongkok sana.

Mereka yang tidak secara langsung ikut berkonflik juga turut terkotak-kotak dengan pendapat masing-masing. Tidak semua pemeluk Agama Islam sependapat dengan kolompok yang mengaku mewakili Umat Islam. Tidak semua “pribumi asli” mempermasalahkan mata sipit yang merupakan salah satu ciri khas warga keturunan Tionghoa. Demikian juga sebaliknya.

Tapi beberapa hari ini seolah-olah persatuan kembali menggema. Semangat nasionalisme kembali berkobar. Pemicunya? Perseteruan antara Freeport yang mengelola pertambangan terbesar di Papua melawan Pemerintah Indonesia. Melawan? Dalam beberapa pernyataan yang dilansir media, mereka menolak kata yang satu itu. Tapi dari sikapnya, apalagi sih istilah yang tepat selain melawan? Bahkan melawan dengan pamer kontribusi. “Selama beroperasi sudah menyetor sekian trilyun …” Iya yang disetor sekian trilyun, lha yang elu kantongin sendiri berapa banyak?

Tidak cukup dengan pamer yang artinya menebar ancaman akan hilangnya potensi setoran ke depan, masih ada juga ancaman-ancaman lainnya. Memberhentikan sekian puluh ribu karyawan yang semuanya orang Indonesia. Bahkan mengancam untuk membawa kasusnya ke Lembaga Arbitrase Internasional. Sudah seperti ribut-ribut FPI lawan Ahok dan pemerintah saja saling ancam melapor ke Polri.

Kalau dalam kasus seputar Pilkada DKI sejumlah Ormas Islam – atau mungkin nggak banyak sih, cuma satu trus bikin anak-anakan dengan nama ini itu biar keliatan banyak – mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah yang ditudingnya melindungi salah satu Calon Gubernur yang tidak mereka sukai, dalam kasus Freeport organisasi Islam terbesar dan tertua di tanah air yang memang memiliki legitimasi sangat kuat baik di dalam maupun di luar negeri mengambil posisi mendukung pemerintah.

Pernyataan Ketua PBNU Mendukung Pemerintah dalam Kasus Freeport

Pernyataan dukungan Nahdatul Ulama kepada pemerintah dalam kasus Freeport tidak sekedar ucapan salah satu pengurus. Bukan hanya selewat menjawab pertanyaan awak media. Tetapi Ketua Umum PBNU sendiri yang sengaja datang menyambangi Mentri ESDM di Kantor Kementrian tersebut khusus untuk menyatakan bahwa beliau dan jajarannya “pasang badan” di belakang Sang Mentri menghadapi Freeport.

Patut dicatat lho, dari namanya saja kita sudah bisa dengan mudah mengetahui kalau Mentri ESDM kita ini tidak beragama Islam. Tapi PBNU tanpa ragu menyokong kepemimpinannya dalam bidang energi dan mineral di negeri ini.

Tidak lama berselang, Banser yang merupakan organisasi sayap kepemudaan NU menyatakan komitmen kepatuhannya mengikuti arah langkah KH Said Agil Siradj, berada di belakang pemerintah menghadapi Freeport. Bahkan Banser menyatakan kondisi Siaga 1 dimana semua kader harus bersiap diri untuk “bertempur”. Dukungan terus mengalir. Kalangan wakil rakyat di DPR termasuk Ketua DPR, pengusaha, akademisi, berbondong-bondong menyatakan dukungannya.

Dukungan besar untuk Mentri Jonan memang sangat penting. Apalagi Presiden Jokowi sudah secara eksplisit menyatakan bahwa beliau mendelagasikan soal Freeport ini secara penuh ke pundak Sang Mentri. Sementara itu yang dihadapi memang sosok yang luar biasa besar. Freeport bukanlah perusahaan kecil. Operasinya luar biasa besar. Tenaga kerja yang terlibat saja puluhan ribu orang, itu baru yang bekerja di pertambangan yang berada di Papua saja. Tentunya dinyatakan atau tidak, Amerika Serikat sebagai negara asal perusahaan itu juga akan berdiri di belakang mereka. Berhadapan dengan Freeport sama seja dengan berhadapan dengan Amerika Serikat.

Lalu dimana ormas yang satu itu? Nggak kedengeran bunyinya tuh. Mereka masih sibuk memamerkan kepahlawanannya dengan membantu korban banjir. Oh iya, mereka juga sedang menggelar aksi lagi di Gedung DPR. Masih muter-muter soal itulah, soal Ahok yang dituduhnya menista Al Quran dan tidak layak menjadi pemimpin karena beragama Kristen.

Terima kasih Freeport … ulah kalian membuat rasa nasionalisme bangsa ini bangkit kembali.

Selangkah Lagi Anies Sandi Menang … Atau Sebaliknya

Bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota negara merupakan cerminan dari Indonesia secara keseluruhan, sepertinya sekali lagi terbukti. Kita seolah-olah melupakan 100 wilayah lain di tanah air yang sama-sama mengadakan Pilkada bersamaan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur baru di DKI Jakarta. Dan kemarin gegap gempita kontestasi politik tersebut ternyata berakhir dengan “perpanjangan waktu”. Rupanya semesta masih memberi kesempatan kita menikmati hiburan yang “ngeri-ngeri sedap” ini lebih lama lagi.

Anies Sandi Menang … Kurang Lebih

Di luar prediksi saya, pasangan calon Anies Sandi menang telak dari Agus Silvi dan menempel pasangan incumbent dengan selisih yang sangat tipis. Saya memang menduga Agus Silvi memang akan berada di posisi ke-3 di garis finish, tapi saya tidak menduga selisihnya akan demikian besar. Tepi begitulah kenyataannya. Anies Sandi bukan hanya menang tapi menang telak atas Agus Silvi. Hasil quick count dari 5 lembaga menunjukkan perbedaan yang sangat besar, di atas 20% perbedaannya, antara kedua pasangan itu.

Agus Silvi Membantu Kemenangan Anies Sandi

Dugaan saya, Anies Sandi menang atas Agus Silvi karena banyak pendukung Agus Silvi akhirnya memutuskan memilih Anies Sandi karena banyaknya isu negatif yang mendera keluarga Cikeas dan Partai Demokrat. Bagaimanapun Agus tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY dan partai besutannya. Kondisi ini diperparah oleh blunder pernyataan dari orang-orang yang juga tidak kalah berpengaruh, ibu, adik, dan istri. Kalau soal Silvi yang tersangkut kasus korupsi sepertinya sih hanya sekedar bumbu saja.

Kans Kemenangan Anies Sandi Lebih Besar di Putaran Kedua

Tapi sebetulnya yang patut digarisbawahi dari hasil itu bukanlah soal Anies Sandi versus Agus Silvi. Tapi pasangan yang maju ke putaran kedua. Keberhasilan Anies Sandi memaksakan putaran kedua merupakan langkah besar menuju kemenangan yang sesungguhnya.

Banyak komentar menyebutkan bahwa kalau ingin menang, Ahok Jarot harus menang satu putaran. Memenangkan putaran kedua dinilai lebih sulit bagi pasangan incumbent ini daripada menang 50%+ di putaran pertama. Dengan mempertimbangan banyak faktor, saya pribadi cenderung setuju dengan pendapat ini.

Ahok Jarot Dipaksa Kerja Ekstra Keras

Kenyataannya situasi sekarang justru lebih menyulitkan. Meskipun pasangan Ahok Jarot memenangkan putaran pertama dengan mengumpulkan suara terbanyak, selisihnya dengan pasangan Anies Sandi sangat tipis. Hasil quick count yang dilakukan 5 lembaga secara konsisten menunjukan selisih kurang dari 4% saja.

Hitung-hitungan matematikanya sangat jelas dan sangat sederhana. Kita bulatkan saja dulu hasil rata-rata dari kelima lembaga quick count. Agus Silvi kita bulatkan menjadi 20%. Ahok Jarot dan Anies Sandi kurang lebih berbagi 80% sisanya dimana keduanya berada di kisaran 40% dan ada selisih sekitar 4%. Jadi anggaplah saja Ahok Jarot 42% dan Anies Sandi 38%.

Kita tidak perlu berandai-andai dengan parameter ini itu. Kita pakai satu faktor saja, sentimen agama. Saya yakin yang membuat Anies Sandi  seolah-olah kebanjiran suara di menit-menit terakhir adalah mereka yang menggunakan faktor agama sebagai parameter utama dalam memilih. Tetapi urung memilih Agus Silvi karena pasangan itu di saat-saat terakhir justru kebanjiran banyak masalah. Akhirnya pilihan mereka jatuh ke pasangan beragama Islam yang lain.

Nah kalau yang tersisa dan tidak pindah, yang 20% masih memilih Agus Silvi sekarang, kemudian tidak lagi bisa memilih Agus Silvi, bisa ditebak kemana perginya. Kalau Anies Sandi kedatangan 20% suara Agus Silvi, jelas Anies Sandi menang mudah. Artinya pasangan Ahok Jarot dan tim pemenangannya harus kerja ekstra keras untuk membuat publik “melek” dengan kelebihan mereka. Sehingga bukan hanya suara eks pasangan Agus Silvi yang bisa didapat tapi sebagian suara yang di putaran pertama menumpuk di pasangan Anies Sandi bisa ikut tergusur.

Dengan hasil kerjanya yang nyata terlihat dan kasus penistaan yang justru sudah “membalik”, harusnya mereka bisa.

Membedakan Antara Bos dan Pemimpin

Pernah mendengar bahasan mengenai perbedaan antara bos dan pemimpin? The difference between bosses and leaders? Sepertinya sudah jadi makanan sehari-hari ya, terutama di kalangan para karyawan, entah melalui obrolan atau dibagi kesana kemari melalui kanal-kanal social media. Post, share, tag, tweet, retweet, dan entah apalagi. Biasanya esensinya sama saja, bos digambarkan memiliki karakter yang buruk dan tidak menyenangkan sementara pemimpin digambarkan sebagai sosok yang berbeda 180 derajat. Pada dasarnya menekankan agar mereka yang berada pada posisi tersebut bersikap dan bertindak tidak seperti bos tetapi seperti pemimpin.

Saya sengaja menulis frasa “di kalangan para karyawan” dengan penekanan khusus, tercetak tebal dalam tulisan miring. Nanti kita akan lihat sendiri mengapa saya merasa perlu melakukannya. Sekarang coba lihat dulu gambar di bawah ini. Meskipun kata-kata yang dipilih berbeda-beda, urutan dan isinya tidak sama, tapi kurang lebih begitulah biasanya esensinya.

perbedaan-antara-bos-dan-pemimpin-ori

Nah sekarang, disadari atau tidak, biasanya opini seperti itu, ajaran tentang perbedaan antara bos dan pemimpin, beredar di kalangan para anak buah. Di kalangan para bos dan para pemimpin sih nggak ada, kalaupun ada ya nggak ngaruh juga. Biasanya yang menyebarkan terdiri dari dua golongan, para “coach” atau anak buah yang nggak cukup happy dengan perlakuan atasannya. Yang saya sebut coach bisa muncul dalam berbagai wujud. Entah pembicara seminar, motivator, dll. yang pada prinsipnya bekerja seperti calo terminal, mengajak calon penunpang ke berbagai tujuan tapi dia sendiri mah nggak kemana-mana.

Intinya, pendapat saya pribadi seperti berikut:

  • Bos yang bersikap sebagai bos, wajar, normal.
  • Pemimpin yang bersikap sebagai pemimpin, ya memang sudah seharusnya begitu.
  • Bos yang bersikap sebagai pemimpin, ya sah sah saja, rugi dia sendiri untung dia sendiri.
  • Yang salah itu cuma satu, pemimpin yang bersikap sebagai bos.

Perbedaan Antara Bos dan Pemimpin

Harus sangat disadari bahwa bukan hanya dari sisi karakter, tetapi dari sisi fungsi dan tujuan pun memang ada perbedaan antara bos dan pemimpin yang sangat berbeda. Perbedaan fungsi itu membuat pendekatan kepemimpinan yang mereka terapkan mungkin akan sangat berbeda, sehingga cara mereka berfikir, berucap, bersikap, dan bertindak juga bisa jadi berbeda sehingga ujung-ujungnya yang kelihatan adalah karakternya berbeda.

Bos biasanya memiliki tujuan yang lebih sederhana. Tujuan bos biasanya lebih “egois”, entah untuk dirinya sendiri atau untuk bos yang lebih tinggi lagi. Misalnya saja, bos yang mengomandoi sebuah perusahaan tujuannya sangat jelas dan sederhana, memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, entah untuk dirinya sendiri kalau dia memang pemilik perusahaan, untuk bos besar pemilik perushaaan kalau dia sendiri merupakan eksekutif bayaran, atau para pemilik saham pada perusahaan berskala besar. Para karyawan yang bekerja di bawah komando bos ini memang diterima atau tidak, suka atau tidak, bukan merupakan bagian dari tujuan tetapi “bahan” untuk mencapai tujuan, sama halnya dengan bahan baku produksi, mesin, dan sebagainya.

Dalam hal ini karyawan bukanlah bagian dari tujuan, tetapi sarana untuk mencapai tujuan. Tujuan utamanya adalah keuntungan. Keuntungan untuk siapa? Ya untuk dia sendiri kalau dia pemilik perusahaan, atau untuk para pemilik, investor, atau pemegang saham. Untuk karyawan? Ya karyawan perlu lah sejahtera. Kenapa? Karena kalau karyawan kurang sejahtera nanti produktivitasnya rendah, atau malah pada keluar kan susah kalau nggak ada karyawan. Dalam kondisi seperti itu apa bedanya gaji karyawan dan bahan bakar mesin produksi? Apa bedanya memberi kesejahteraan pada karyawan dengan pemeliharaan mesin produksi? Apa bedanya pendidikan dan pelatihan karyawan dengan “upgrade” mesin dengan yang lebih canggih? Akhirnya apa bedanya antara karyawan bergaji besar dengan mesin yang boros bahan bakar?

Nah coba bayangkan sekarang kalau kita berada di posisi si bos yang saya gambarkan tadi, dimana karyawan merupakan sarana sama halnya dengan bahan baku, mesin-mesin produksi, dll. apakah kita akan bersikap seperti bos yang nampak dalam gambar di atas di sisi kiri atau seperti pemimpin yang tergambar di sisi kanan?

Sementara pemimpin biasanya berada di dalam posisi dimana anak buah merupakan bagian dari tujuan, bahkan bukan hanya merupakan bagian dari tujuan tetapi merupakan tujuan utama. Anak buah disini tidak harus karyawan, bisa jadi anggota organisasi dimana kita menjadi ketua, atau penduduk saat kita bicara pemimpin kewilayahan seperti bupati, gubernur, atau bahkan presiden.

Kita ambil contoh yang paling sederhana sekaligus paling keren saja, seorang presiden. Tujuan dari semua yang dilakukan presiden adalah kesejahteraan rakyat, anak buahnya. Wajar kalau apapun yang dia lakukan bersifat partisipatif. Mengedepankan kebersamaan. Karena anak buah merupakan tujuan. Presiden berusaha meningkatkan ekspor, supaya pendapatan negara meningkat, agar ada cukup uang untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dll. Siapa yang menikmati? Anak buah. Presiden berusaha meningkatkan produktivitas pertanian, supaya petani lebih sejahtera. Presiden berusaha membangun insfrastruktur, supaya kehidupan masyarakat lebih nyaman dan lancar. Kita bisa berputar-putar disitu menggali aneka contoh. Kita juga bisa beranjak ke sosok pemimpin lain yang skalanya lebih kecil misalnya ketua asosiasi pedagang pasar.

Ya tentunya memang ada sosok blunder seperti presiden yang alih-alih memikirkan kesejahteraan rakyat malah menumpuk kekayaan sendiri dengan merampok rakyatnya.

Menyamakan antara bos dan pemimpin itu konyol. Kalau tujuan masing-masing sudah sangat jelas berbeda, tentunya menyamakan antara bos dan pemimpin, berharap bos bertindak seperti seorang pemimpin itu konyol. Dan pada akhirnya memang kalau seorang bos berfikir, bersikap, dan bertindak seperti pemimpin, dia juga tidak akan bisa efektif mencapai tujuannya. Kalau si bos ini seorang eksekutif bayaran, ya taruhannya ditendang. Sebaliknya, pemimpin yang berfikir, bersikap, dan bertindak seperti bos juga layak dipentungi rakyat beramai-ramai. Kalau kita melihat ada seorang bos yang bersikap seperti pemimpin, ada dua kemungkinan, dia memimpin perusahaan miliknya sendiri dan punya jiwa sosial yang tinggi, atau dia cukup cerdas “bermain”, membuat anak buah lebih happy sehingga lebih termotivasi untuk bekerja keras membantu si bos mencapai tujuannya sendiri.

Jadi pada akhirnya, kalau anda tidak happy dengan pimpinan di tempat kerja, nggak usahlah berceramah soal beda antara bos dan pemimpin. Mengundurkan diri dan cari atasan lain saja. Maksudnya cari tempat kerja lain. Tapi dijamin deh, di tempat baru ya kurang lebih akan sama saja. Kalaupun beda, ya beda beda dikit lah. Kalau mau solusi yang lebih paripurna, ya jadikan diri anda bos. Menjadi bos untuk orang lain, atau setidaknya jadi bos untuk diri sendiri. Bagaimana caranya? Berwirausahalah. Anda tidak lagi akan tertekan karena bos yang tidak bersikap sebagai pemimpin. Anda akan memahami mengapa bos tidak bersikap sebagai pemimpin. Dan akhirnya anda akan mulai berhadapan dengan anak buah yang menuntut anda sebagai bosnya untuk bersikap sebagai pemimpin.

Bisa? Hey … anda bos. Tujuan anda adalah mendapat keuntungan sebesar-besarnya untuk anda sendiri, bukan untuk karyawan. Karyawan? Ya bagi-bagi dikit lah, biar mereka happy, biar mereka nggak kabur lalu membuka usaha sejenis dan akhirnya menjadi saingan anda. Repot kan kalau begitu. Hahaha.

Pelajaran Dari Tukang Lalapan

Salah satu menu yang termasuk di dalam jadwal giliran makan malam saya adalah lalapan. Sebetulnya ini istilah yang baru saya kenal setelah saya tinggal di Bali. Penjual makanan sejenis di kebanyakan kota di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan pecel lele. Setali tiga uang sih, penjaja lalapan di Bali dalam salah satu jajaran menunya selalu menawarkan pecel lele, sementara pedagang pecel lele di tanah Jawa sana selalu menata sajiannya dengan dilengkapi sayur-sayuran mentah alias lalapan.

Kecuali ada alasan tertentu yang sah menurut undang-undang, saya juga selalu membeli lalapan dari pedagang yang sama. Kalau sering membaca bukunya Hermawan Kartajaya atau kolomnya Rhenald Kasali, yang seperti ini istilah bisnisnya berlangganan.

Alasannya saya berlangganan sederhana saja, paling dekat dengan rumah, hanya 2-3 menit dengan sepeda motor yang pastinya bukan Kawasaki Ninja apalagi Ducati Monster. Tapi kalaupun pake Yamaha YZR M1-nya Jorge Lorenzo kayaknya sih nggak bakalan jadi lebih cepet. Alasan lainnya, karena tidak seperti kebanyakan tukang lalapan di Bali, dia menyediakan ikan laut. Kebetulan saya tidak makan daging. Saya makan ikan, tapi khusus lele dikecualikan. Kalau soal rasa sih lidah saya tidak terlalu sensitif, perasaan semua tukang lalapan rasanya sama saja.

Karena biasanya kedua pedagang yang melayani disitu cukup sibuk melayani para pembeli, saya tidak banyak chit-chat dengan mereka. Hanya basa-basi sekedarnya karena memang sering sekali bertemu. Kebetulan mereka menerapkan salah satu konsep WOW Marketing-nya Hermawan Kartajaya. Dia mengenali dan menyapa pelanggan-pelanggannya dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik yang membuat pembeli merasa diperlakukan secara personal, misalnya saja pada pelanggan yang biasa datang berdua dia tanya “Lho koq sendirian Pak?” atau dia tanya “Wuih motornya ganti ya?” pada pelanggan yang datang dengan sepeda motor yang tidak biasanya dia pakai.

Sampai suatu ketika saya datang dan suasana sangat sepi, tidak ada satupun pembeli lain saat saya duduk menunggu pesanan saya disiapkan. Kebetulan saat itu memang ada rainan alias hari yang disucikan Umat Hindu di Bali sehingga banyak orang pergi ke pura untuk bersembahyang dan mulailah mengalir obrolan mengenai keseharian mereka sebagai perantau yang mengadu nasib jauh dari kampung halaman sebagai pedagang lalapan.

Seperti hampir semua tukang lalapan di Bali, mereka berasal dari Jawa, tepatnya sebuah kota kecil di Jawa Timur bernama Ponorogo. Tinggal kost tidak jauh dari tempatnya berdagang sementara rombong, tenda, dan peralatan besar lainnya setiap hari harus dibongkar pasang karena mereka berjualan di halaman parkir toko yang di pagi sampai sore hari buka untuk berjualan bahan bangunan. Untungnya barang-barang yang besar dan berat itu tidak harus setiap hari mereka angkut karena si pemilik toko mengijikan mereka untuk menyimpannya di lahan kosong yang terletak tepat di belakang toko.

Alkisah, he he he, mereka membawa 50 potong ayam dan 50 ekor ikan lele setiap malam, belum termasuk hati ayam, ikan laut, tahu, tempe, dan terong. Sepertinya mereka benar-benar memberikan penekanan pada kedua mata dagangan utama itu, ayam dan lele. Lainnya mereka perhitungkan sebagai tambahan saja.

Uniknya setiap hari 50 potong ayam dan 50 ekor lele itu habis … harus habis. “Pokoknya kalau ayam dan lele belum habis kita belum tutup Pak”, tutur salah satu si penjual. Katanya dalam kondisi terburuk dagangan mereka habis pada pukul 3 dini hari. Mereka mulai berjualan jam 5 sore, artinya mereka berjualan selama sekitar 10 jam non-stop, tidak ada shift-shift-an. Betapa melelahkannya. Apalagi mereka bekerja di malam hari yang nota bene bukan jam kerja normal. Apalagi pekerjaan merekapun menuntut mereka aktif terus dan hampir selalu berdiri.

Terbayang beratnya.

Cerita berlanjut, setelah tutup sekitar jam 3 dini hari, mereka harus membongkar tenda dan menyimpan rapi di belakang toko sebelum mengangkut semua peralatan lainnya pulang ke kost. Baru sekitar jam 4 mereka bisa beristirahat, tidur, sampai jam 11 siang. Hari baru mereka dimulai dengan mandi dan melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian dll. Jam 12 mereka sudah berangkat berbelanja, pulang berbelanja langsung memasak menyiapkan dagangan. Jam 4 sore sudah mulai angkut-angkut ke tempat berjualan. Jam 5 sore begitu toko tutup rombong dan tenda diangkut ke depan dan di-setup untuk mulai berjualan.

Perjuangan yang luar biasa. Mereka beristirahat hanya dari jam 4 sampai jam 11 yang artinya hanya 7 jam. Selain itu, artinya selama 17 jam mereka terus bekerja. Hampir tanpa henti. Dan mereka melakukannya tanpa libur kecuali saat Hari Raya Nyepi karena pada hari itu seluruh Bali “diistirahatkan”.

Terbayang beratnya.

Tapi mereka pengusaha. Mereka bukan karyawan yang “disusui” orang lain. Bukan pula buruh yang menggantungkan kesejahteraanya pada orang lain dan kemudian protes dan demo saat merasa kesejahteraannya kurang diperhatikan. Mereka pejuang-pejuang sejati.

Pelajaran sederhana dari orang-orang sederhana.
Salah.
Pelajaran luar biasa dari orang-orang luar biasa.

Sering kali pelajaran tidak hanya datang dari orang-orang besar. Sebagai pengusaha mungkin orang menjadikan pengusaha-pengusaha besar sebagai rujukan. Steve Jobs, Bill Gates, Warren Buffet, Michael Bloomberg, atau Chairul Tanjung, Saniaga Uno, Tahir, dan jajaran pengusaha papan atas lainnya. Tapi ternyata di bawah sana, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik.

Steve Jobs menekankan tentang “pure preserverance”, Chairul Tanjung mengajarkan kerja keras. Ilmu yang sama ditunjukan oleh kedua pedagang lalapan yang saya ceritakan tadi.

Ahok Tentang Kontraktor Ngirit

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, merupakan salah satu dari sedikit pejabat yang sampai saat ini masih saya yakini integritasnya. Terlepas dari gaya komunikasinya yang meledak-ledak dan ucapannya seringkali masuk ke dalam kategori kasar, saya belum melihat adanya kejadian yang membuat kepercayaan saya akan integritas tersebut menyusut apalagi hilang.

Mungkin karena keparcayaan atas integritasnya itulah yang membuat saya cenderung “setuju” dengan tindakan dan kebijakannya, dan “sependapat” dengan ucapannya.

Tapi kali ini agak berbeda. Mengangkut pernyataannya mengenai penyebab kecelakaan kerja dalam proyek-proyek konstruksi yang kemudian banyak dikutip berbagai portal berita, salah satunya merdeka.com. Disebutkan bahwa Ahok, sapaan akrab Gubernur DKI tersebut, menyatakan bahwa banyaknya kecelakaan kerja pada proyek-proyek konstruksi diakibatkan ulah kontraktor yang ingin menghemat biaya alias “ngirit”.

Untuk satu hal, saya sependapat, bahwa sangat logis jika banyak kecelakaan kerja di sektor ini diakibatkan oleh kontraktor yang cenderung ngirit. Memilih alat kerja dengan merk murah yang kualitasnya layak dipertanyakan, penggunaan tenaga kerja yang tidak berpengalaman, perawatan alat kerja yang tidak sesuai standar yang ditetapkan pembuatnya, merupakan beberapa cara pengiritan yang dilakukan kontraktor untuk menekan biaya.

Wajar kalau selain meningkatkan resiko kecelakaan kerja, kualitas pekerjaan juga jadi tidak sesuai standar, padahal banyak proyek konstruksi tersebut dilakukan untuk membangun fasilitas publik yang kalau sampai bermasalah bisa membahayakan orang banyak. Bayangkan kalau jalan layang tiba-tiba ambruk karena tidak sanggup menahan beban saat ratusan mobil terjebak kemacetan di atasnya, misalnya.

Tapi hanya sampai potongan itu saja saya sependapat. Lebih lanjut, harus juga dirunut alasan mengapa para pengusaha konstruksi itu cenderung ngirit. Sudah bukan rahasia lagi kalau mereka dibebani dengan banyak biaya siluman. Anggota DPR jelita yang baru-baru ini tertangkap tangan KPK mengkonfirmasi bagaimana pengusaha dibebani biaya yang luar biasa tinggi bahkan sebelum mereka mendapatkan proyek untuk mereka garap.

Saya yakin biaya-biaya nggak jelas jutrungannya itu tidak berhenti sampai disitu. Dari DPR/DPRD saat pembahasan aliran pengeluaran terus menggelontor untuk berbagai meja pejabat dari mulai saat pencairan dana sampai pengawasan oleh departemen/dinas teknis terkait, sampai Ormas dan LSM.

Sebagai pengusaha, kontraktor-kontraktor itu juga perlu untung. Buat apa berbisnis kalau tidak untung. Sementara itu pesaingan antara mereka sendiri membuat pengajuan anggaran juga harus realistis, biar nggak nantinya kena semprit BPK maupun pejabat dan para wakil rakyat yang entah karena belum kena cipratan atau membutuhkan panggung pencitraan kemudia mengangkat persoalan menjadi masalah. Kalau begini persolannya, pengiritan menjadi satu-satunya solusi, supaya biaya-biaya siluman tersebut bisa terpenuhi dan pengusaha masih tetap bisa mendapatkan keuntungan yang wajar.

Pada dasarnya kontraktor itu pengusaha, dan wajarnya pengusaha memahami pentingnya kredibilitas yang dibangun salah satunya dengan penyelesaian pekerjaan yang bebas masalah baik pada saat pengerjaannya maupun setelah selesai. Mereka juga sangat faham bahwa pegawai, dari manager proyek sampai buruh, merupakan aset penting. Dengan begitu mereka akan cenderung mengambil keuntungan yang wajar dengan tetap mengedepankan keamanan, keselamatan, dan tentunya hasil akhir.

Tapi kembali pada integritas Ahok, saya yakin beliau sangat faham apa yang saya sebutkan tadi. Apa yang dia katakan mengenai pengiritan itu, beliau bicara di satu sisi, mengingatkan pengusaha. Karena disisi lain saya kira beliau salah satu dari hanya sedikit pejabat yang konsisten menunjukan komitmennya untuk memberantas praktek-praktek yang membebani pengusaha dengan biaya tinggi sehingga terpaksa melakukan pengiritan.

Saya kira beliau ingin mengingatkan pengusaha, biar para “begal” dia yang bersihkan, tapi setelah bersih, jangan kemudian para pengusaha yang menggantikan mereka, “membegal” diri sendiri dengan mengorbankan buruh dan kualitas akhir.

Tentang Insiden Penerbangan Lion Air

Setelah dunia maya diramaikan dengan berita dinobatkannya maskapai penerbangan Lion Air sebagai maskapai penerbangan paling berbahaya di dunia, seolah-olah mengkonfirmasi, beberapa hari kemudian kembali ramai diberitakan cerita seorang penumpang yang mengalami insiden penerbangan yang menurutnya sempat mengancam nyawanya dan tentunya juga semua penumpang lain yang berada di dalam pesawat tersebut.

Seeprti diberitakan detik.com dalam beritanya berjudul Curhat Penumpang Lion Air di Facebook: Delay dan Pintu Tak Menutup Rapat, penumpang bernama Kartini Kongsyahyu berada pada penerbangan Lion Air yang berangkat dari Denpasar menuju Makassar pada malam hari tanggal 27 Desember 2015 yang lalu. Setelah menunggu dalam delay berkepanjangan yang tidak jelas apa penyebabnya apalagi kapan akan berakhirnya – khas Lion Air – akhirnya penumpang naik pesawat dan terbang.

Disinilah kemudian terjadi insiden yang justru lebih menegangkan dari sekedar delay. Kartini menuturkan bahwa setelah lepas landas terdengar bunyi gemuruh sangat keras yang digambarkannya seperti 10 vacuum cleaner dihidupkan bersamaan. Pesawat sedikit berguncang yang dikonfirmasinya sendiri mungkin akibat awan karena cuaca di luar pesawat memang berawan. Lampu diluar pesawat terus berkedip yang menurutnya mungkin berarti tanda SOS. Kemudian pilot mengumumkan bahwa pesawat akan kembali ke landasan.

Kehebohan belum berakhir, karena setelah turun dari pesawat, Kartini melihat mobil SAR sudah stand-by. Semakin mengkonfirmasi besarnya bahaya yang baru saja dihadapi para penumpang di dalam pesawat itu. Disebutkan bahwa kemudian diketahui bahwa insiden tersebut terjadi akibat pintu yang tidak tertutup rapat. Mengakumuasi kengerian yang dialaminya Kartini menulis “Bisa anda bayangkan kalau tekanan udara kuat maka bisa membuat kabin pesawat hancur seketika, semua penumpang akan beterbangan dilangit malam Bali !!!

Pada berita lain juga disebut seorang penumpang lain bahwa dalam kondisi tidak normal tersebut pesawat terus menanjak. Baru kemudian berputar dan kembali turun dan mendarat.

(1) Pertama tentu saya prihatin dengan pengalaman Kartini dan penumpang lain di dalam pesawat tersebut. Meskipun demikian saya justru berpendapat bahwa ungkapannya terlalu lebay. Kejadian biasa kalau dia benar-benar seorang frequent flyer – dia menyebut bahwa dia sering terbang – yang tidak berbahaya seperti yang dibayangkannya. Baik pilot maupun bandara sepertinya sudah melakukan prosedur yang benar untuk menghindari bahaya seperti yang dibayangkan penumpang tersebut sehingga saya sendiri justru melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang layak dipuji alih-alih dicaci.

(2) Pesawat bergerak dalam kecepatan yang sangat tinggi, dia tidak akan take-off dalam kecepatan di bawah 250km/jam, sementara kecepatan maksimalnya saat “cruising” bisa di atas 800km/jam. Jadi kalau benar pintu tidak tertutup rapat, sangat wajar kalau angin akan membuat suara bising yang sangat keras.

(3) Pilot sudah mengambil tindakan yang benar, dengan memutuskan untuk putar balik kembali ke landasan. Hanya saja memang pesawat bukanlah angkot yang bisa jalan dan berhenti semaunya. Perlu ketinggian dan posisi tertentu untuk bisa mendarat kembali dengan aman. Jadi kalau pilot memaksa naik terus sampai titik tertentu sebelum berputar, itu justru dilakukannya demi keselamatan.

(4) Seperti yang disampaikan Kartini sendiri, guncangan kecil bisa terjadi karena awan. Lampu berkedip-kedip di luar, mungkin lampu yang biasa berkedip saat take off dan landing, biasanya tidak kelihatan dari dalam. Tapi kadang-kadang dalam kondisi berawan sinarnya terpantul sehingga terlihat dari dalam.

(5) Kalau setelah mendarat penumpang diminta tetap di dalam selama pesawat diperbaiki, mungkin sedang diperiksa dulu, kalau pintu yang tidak tertutup rapat itu hanya akibat salah menutup, tentu tinggal dibuka dan ditutup lagi lalu kembali terbang. Hanya mungkin penumpang sudah terlalu panik sehingga memaksa turun.

(6) SAR yang stand-by di landasan seharusnya justru dilihat secara positif juga. Bahkan untuk insiden kecil seperti itupun fihak bandara dan semua perangkat terkait mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Alih-alih merasa terancam, justru seharusnya merasa terlindungi.

Sembari sekali lagi turut prihatin atas insiden tersebut, soal takut dan tegang kan tidak bisa disalahkan dengan logika, saya pribadi justru bermaksud menyampaikan pujian untuk Lion Lair khususnya pilot yang bertugas saat itu, dan semua fihak yang bersiaga di landasan. Kritik saya untuk Lion Air, dalam kondisi seperti itu, meskipun mungkin secara aturan bukan kewajiban, alangkah mulianya jika para penumpang disediakan akomodasi, terserah apakah besoknya mereka akan terbang dengan penerbangan Lion Air berikut atau memilih meminta refund dan terbang dengan maskapai lain.

Itu soal insidennya lho ya … kalo soal delay, saya sendiripun yang sudah sering menjadi korban dan tetap saja sering memilih terbang dengan Lion Air sudah sampai pada titik pikiran “Kalau nggak delay ya bukan Lion Air namanya.”

Mencintai Kopi

Mencintai sesuatu yang manis mungkin mudah-mudah saja. Tapi mencintai yang pahit pastinya lain lagi ceritanya. Banyak orang Indonesia mencintai kopi, tapi kebanyakan orang menaburkan bersendok-sendok gula ke dalam cangkir kopinya untuk menutupi rasa pahit dengan rasa manis. Lalu kenapa nggak minum air gula saja? Manusia kadang memang aneh.

Filosofi Kopi

Dalam rasa pahit kopi tersembunyi sejuta rasa nikmat. Coba saja minum kopi tanpa gula perlahan. Ditahan di mulut jangan langsung ditelan. Dirasakan perlahan di lidah. Ada sensasi rasa manis yang tersembunyi di balik rasa pahitnya. Filosofi kopi ini mirip dengan kehidupan. Kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki saat kita bisa menemukan rasa manis yang tersembunyi di balik tumpukan pengalaman pahit.