Dalam waktu dekat ini Presiden Jokowi akan menikahkan putra sulungnya bernama Gibran Rakabuming Raka dengan gadis yang sama-sama asal Solo bernama Selvi Ananda. Sebagai pemuda lajang seumurnya, tentu hal yang biasa saja jika Gibran bermaksud menikahi gadis pujaannya, meskipun dia anak seorang presiden. Sebagai orang tua, tentu juga hal yang biasa saja jika Jokowi dan keluarga menikahkan anaknya. Toh tidak ada hal negatif yang melatar belakangi pernikahan tersebut, sebutlah hamil duluan misalnya.

Hanya saja banyak kalangan tertuama golongan “haters” menghubungkan dengan peraturan yang dibuat Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, yang dengan semangat agar para pejabat negara mengedepankan gaya hidup sederhana, melarang pejabat negara menghelat acara pernikahan anak-anaknya dengan mengundang lebih dari 400 tamu. Sebuah semangat yang layak diacungi jempol tetapi sepertinya tidak mudah untuk diimplementasikan.

Mungkin tidak terlalu sulit jika pejabat tersebut hanya sekelas camat misalnya. Tapi untuk seorang presiden memang tentunya lumayan dilematis. Secara adat istiadat ketimuran, apakah sopan jika seorang presiden tidak mengundang kolega-koleganya pada saat menghelat acara seperti itu? Bayangkan saja jika relasi-relasi sang presiden diundang, berapa mentri, berapa pejabat setingkat mentri, berapa pejabat lembaga tinggi negara. Bagaimana dengan perwakilan negara sahabat? Bukan tidak mungkin pemimpin negara sahabat akan hadir sendiri alih-alih mengutus duta besarnya. Bagaimana dengan keluarga dan kerabat? Bagaimana dengan teman dan sahabat kedua mempelai? Bagaimana dengan keluarga, sahabat, dan relasi sang calon besan?

Saya sih nggak beneran baca itu peraturan. Tapi dari pemberitaan yang beredar sih batasan maksimumnya 400 undangan dan itu berlaku untuk semua pejabat termasuk presiden. Konon helatan yang digelar keluarga Presiden Jokowi ini menyebar ribuan undangan, jauh melebihi angka 400. Sejumlah media kemudian melansir pernyataan Menpan Yuddy yang seolah berkilah membuat pembenaran dengan menyatakan bahwa yang penting tidak keluar dari prinsip kesederhanaan. Salah satu parameter kesederhanaan yang dikemukakannya adalah pernikahan tersebut tidak digelar di tempat mewah tetapi di gedung pertemuan milik keluarga Jokowi sendiri.

Susah-susah gampang sih. Secara pribadi saya memang sangat faham bahwa untuk sekelas presiden, tentulah membatasi undangan hanya di angka 400 tidaklah realistis. Jadi kalo kemudian lebih, bahkan jauh lebih, ya wajar-wajar saja. Mungkin ada benarnya juga bahwa keluarga Jokowi tetap mengedepankan prinsip kesederhanaan seperti yang dikemukakan Menpan Yuddy.

Tapi di sisi lain yang namanya peraturan ya tetap peraturan, harus dilaksanakan dengan konsekuen. Bagaimana orang lain bisa disiplin mengikutinya kalau bos si pembuat peraturan yang pastinya sudah menyetujui aturan tersebut saja tidak mengikutinya. Justru disitulah ujiannya. Saat peraturan dikeluarkan, saat sang bos menyetujui peraturan tersebut dikeluarkan, ya terpaksa harus diikuti. Kalaupun saja sebagai bos Presiden Jokowi ternyata tidak tahu, tetap saja toh Menpan Yuddy itu anak buahnya.

Sementara itu tidak salah jika para haters kemudian juga mengambil sisi lain untuk menyerang. Memahami kewajaran dari keputusan keluarga Presiden Jokowi konon menyebar ribuan undangan, mereka menyerang dari sisi kebijakan pemerintah yang terlalu naif menyeluarkan peraturan yang tidak bisa dilaksanakan. Nah, maju kena mundur kena deh kan. Ya memang begitulah nasib pejabat.

Pada akhirnya selamat untuk kedua mempelai dan kedua keluarga.