Negara

Home/Negara

Mutasi Kendaraan ke Bali dengan Biro Jasa

Kebetulan saya punya kendaraan yang cukup berumur dan terregistrasi di luar daerah. Sayangnya selama ini saya tidak bisa melakukan mutasi kendaraan ke Bali karena terkendala aturan pembatasan umur kendaraan. Tadinya untuk kendaraan pribadi Bali memang hanya mengijinkan kendaraan dengan usia maksimal 10 tahun saja yang boleh dimutasikan. Alhasil mobil saya yang satu itu bertahun-tahun wara-wiri di jalanan Bali dengan plat luar.

Memang selama bertahun-tahun saya tidak pernah mendapat kendala menggunakan mobil plat luar Bali. Kalaupun ada razia, yang kebetulan razia mobil di Bali sangat jarang, biasamya lewat-lewat saja. Sedikit rumit hanya saat pajak membayar pajak, terlebih kalau sudah waktunya ganti STNK. Tapi dengan bantuan biro jasa, mengurus surat-surat kendaraan luar Bali itu juga nggak ribet-ribet amat. Biaya jasa puntuk mengurus surat-surat kendaraan di Bali juga nggak terlalu signifikan.

Setelah aturan pembatasan mutasi kendaraan ke Bali dicabut, baru saya mulai memikirkan untuk mengurus mutasi kendaraan ke Bali. Lebih aman dan nyaman. Lagian biar fair juga lah. Kita memakai fasilitas di Bali tapi setor pajaknya di luar daerah.

Setelah Googling-Googling ke sana kemari dan sempat datang sendiri ke Kantor Samsat Badung di Mengwi, karena kebetulan domisili saya masuk wilayah Kabupaten Badung, saya mulai memikirkan untuk menggunakan biro jasa saja. Memang mengurus mutasi kendaraan ke Bali ternyata tidak serumit yang saya bayangkan sebelumnya. Tapi juga bukan sesuatu yang selesai dalam beberapa menit seperti membayar pajak kendaraan-kendaraan saya yang lain yang memang sejak awal terdaftar di Bali.

Di meja informasi Kantor Samsat Badung saya mendapat kesimpulan kalau proses pengurusan mutasi kendaraan ke Bali ini makan waktu sekitar 1 sampai 2 minggu dan perlu beberapa kali bolak balik ke Kantor Samsat. Itu dengan catatan dokumen kendaraan sudah ditarik dari wilayah asal.

Cabut Berkas Kendaraan dari Jakarta

Meskipun saya tahu ada beberapa biro jada pengurusan surat-surat kendaraan di Bali yang melayani jasa cabut berkas kendaraan dari Jakarta, mengikuti saran beberapa teman saya memutuskan untuk meminta bantuan kerabat untuk menggunakan biro jasa setempat untuk mengurus proses cabut berkasnya.

Pastinya karena dibantu biro jasa, proses cabut berkas kendaraan dari Samsat DKI Jakarta bisa selesai cukup cepat tanpa harus ribet-ribet. Sedikit ribet adalah karena proses cabut berkas di Jakarta itu ternyata memerlukan cek fisik kendaraan, sementara kendaraannya sendiri ada di Bali. Untungnya ternyata proses cek fisik itu bisa numpang. Dengan membuat pernyataan bahwa kendaraan itu setelah dicabut akan dimutasikan ke Bali, saya bisa mendapatkan surat cek fisik dari Samsat di Bali untuk proses cabut berkas di Jakarta.

Sekitar 2 mingguan setelah surat cek fiaik saya kirim ke Jakarta, berkas kendaraan yang sudah dicabut dari Jakarta sudah sampai di tangan saya.

Mutasi Kendaraan ke Bali

Saya mencari biro jada untuk mengurus mutasi kendaraan ke Bali lewat Google dan Facebook. Beberapa biro jasa yang saya hubungi meminta saya untuk membawa kendaraan ke Kantor Samsat untuk cek fisik.

Entah kenapa saya males banget. Padahal duluan untuk mengurus cabut berkas dari Jakarta juga saya bawa sendiri mobil itu ke Kantor Samsat Denpasar. Padahal lagi, ada Kantor Samsat Pembantu yang juga punya fasilitas cek fisik dan lokasinya hanya sekitar 2 kilometer dari rumah saya. Sampai saya kemudian menemukan satu orang yang mengatakan bahwa cek fisik bisa saya lakukan sendiri di rumah. Dia hanya memberikan sticker gesekan nomor mesin dan nomor rangka untuk saya gesek sendiri.

Awalnya agak meragukan. Kalo ini orang nggak bener kan berkas cabutan dari Jakarta itu bisa amblas. Padahal selain prosesnya memakan waktu dan biaya, kalo sampe hilang urusannya pasti ribet. Tapi karena dia mengatakan akan langsung proses tanpa saya harus memberikan uang di muka, akhirnya saya setujui.

Selang sekitar 10 hari, persis seperti yang dia janjikan, dia meminta DP yang cukup besar, 6 juta. Saya tahu kalau biaya yang harus saya bayar mungkin akan jatuh di angka segitu-segitu juga, karena pajaknya di STNK lama saja hampir 5 juta, belum BBN dll. Tapi setelah menyerahkan berkas, lalu menyerahkan lagi uang 6 juta sama seseorang yang entah siapa, hmmm. Dia memberikan KTP-nya sebagai jaminan. Tapi berapa sih ngurus KTP hilang? Jelas gak sampe 6 juta. Tapi setelah dia minta uangnya ditransfer dan rekening yang dia sebut sesuai dengan nama di KTP akhirnya saya setuju.

Besoknya, sehari setelah saya memberikan DP 6 juta itu, dia mengirim foto BPKB. Saya bukan pakar seperti Roy Suryo tapi cukup tahu membedakan foto asli dan editan. Jadi saya pede kalau prosea mutasi kendaraan ke Bali yang dia urus itu memang berjalan.

Selang 2 hari dia mengirim foto tagihan pajak. Ternyata jauh lebih besar dari perkiraan. Hampir 11 juta. Cukup kaget ternyata PKB di Bali untuk mobil tua itu – tahun pembuatan 2010 – ternyata hampir 8 juta per tahun.

Apa boleh buat, saya bayar sisanya dan besoknya BPKB, STNK, dan plat nomor baru untuk mobil saya selesai. Proses mutasi kendaraan ke Bali itu menghabiskan waktu sekitar 2 minggu. Sekarang mobil itu sudah resmi jadi “Nak Bali”, bukan lagi “Nak Jawa” atau “Nyama Dauh Tukad”.

Biro Jasa Mutasi Kendaraan ke Bali

Sekedar berbagi informasi siapa tahu ada yang perlu, biro jasa yang saya pakai untuk mengurus mutasi kendaraan ke Bali seperti yang saya ceritakan sebelumnya adalah Muhammad Sufi, dapat dihubungi lewat telepon, SMS, atau WA di nomor +62 877-0453-3132

Boleh dibilang referensi karena memang pengalaman saya menggunakan jasanya cukup baik, cepat dan dapat dipercaya. Meskipun demikian tentunya saya tidak dapat menjamin kalau anda turut menggunakan jasanya kemudian pasti mendaparkan pengalaman yang sama. Kontak dan pakai feeling sendiri saja.

Kalau ada yang punya pengalaman dalam hal mutasi atau pengurusan surat-surat kendaraan di Bali, silahkan dibagi disini biar bermanfaat untuk mereka yang memerlukannya.

Dagelan 3-0 Ala Haboburokhman

Rajin menghibur dengan kontroversi heboh yang justru menjadi lawakan konyol, sudah lama sosok petinggi Gerindra bernama Habiburokhman ini tidak muncul. Kangen juga sih. Rasa-rasanya terakhir kita dibuat ngakak berhari-hari itu saat dia mencoba mengolok-olok hasil kerja mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan mangatakan dia nyasar di Semanggi 2.

Pagi ini tiba-tiba dia muncul saat saya membuka situs berita, lagi-lagi seperti biasa, lontaran kontroversial yang justru jadi menggelikan.

Hari-hari terakhir ini perhatian kita memang cukup tersita dengan berita seputar rangkaian debat Calon Presiden yang sesi pertamanya akan digelar bulan ini juga. Dikabarkan sesi pertama ini akan membahas 3 hal penting dalam kehidupan bernegara di tanah air tercinta ini berkaitan dengan persoalan hukum yaitu hukum dan HAM, korupsi, dan terorisme.

Sebagai petinggi partai pengusung Prabowo-Sandi, Habiburokhman nampak berupaya membangun kemenangan Prabowo-Sandi lewat perang opini. Dalam berita yang dilansir portal berita terkemuka detik.com Habiburokhman dengan lantang mengklaim kemenangan telak 3-0 Prabowo-Sandi atas pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf Amin.

Soal penegakan hukum Habiburokhman menunjuk ketimpangan penegakan hukum, perbedaan perlakuan atas pelanggaran hukum yang dilakukan mereka yang terafiliasi dengan kubu oposisi dan mereka yang mendukung petahana yang saat ini memegang kekuasaan. Saat semua orang di kubu Prabowo yang terjerat kasus hukum berusaha membangun stigma “dikriminalisasi” yang artinya tidak melakukan tindakan kriminal tapi dituduh melakukan dan diproses hukum, Habiburokhman justru seolah mengakui kalau kasus-kasus itu memang pelanggaran hukum dan karenanya menggugat perlakuan yang berbeda dalam penanganannya.

Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?

Sementara mengenai HAM dia menunjuk sejumlah kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum terungkap seperti kasus Marsinah, Udin, dan Novel Baswedan. Dimana anehnya? Kasus Marsinah terjadi tahun 1993 sementara kasus Udin terjadi tahun 1996, keduanya masih pada masa pemerintahan Pak Harto. Kita tahu barisan keluarga Pak Harto sekarang berada di kubu Prabowo. Demikian juga SBY, Presiden Indonesia dengan kekuasaan terlama pasca Orde Baru yang juga gagal mengungkap kedua kasus pelanggaran HAM berat itu.

Soql korupsi, Habiburokhman menganggap banyaknya pejabat terutama pejabat daerah yang terjerat OTT KPK sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Pemikiran yang terbalik 180 derajat dari logika wajar sebetulnya. Justru keberhasilan KPK untuk “unjuk gigi” ini merupakan refleksi komitmen pemerintahan Presiden Jokowi yang memberi ruang seluas-luasnya kepada KPK untuk bekerja. Lihat saja dulu. Bukannya sibuk mengungkap kasus korupsi, malah pimpinan-pimpinan KPK dijerat kasus oleh lembaga-lembaga penegakan hukum yang bekerja di bawah kekuasaan Presiden. Apa yang terjadi dengan pimpinan-pimpinan KPK seperi Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto? Presiden yang menjabat saat itu ada di kubu mana?

Kita tahu pejabat-pejabat daerah adalah pejabat yang disokong Partai Politik untuk dipilih langsung, bukan pejabat yang ditunjuk dan dikomandoi Presiden. Mari bandingkan, jaman SBY barisan mentri, pejabat partai karena kebetulan SBY merupakan tokoh sentral di partai besutannya, sampai besan jadi pasien KPK. Lalu lihat sekarang, ada mentri Jokowi yang tertangkap KPK? Di kubu mana SBY berdiri sekarang?

Lagi ya … menggunting dalam lipatan, mendiskreditkan teman sendiri. Kalo itu dilakukan dengan kesadaran penuh namanya jahat. Kalo itu dilakukan nggak sadar, namanya bodoh.

Lalu bagaimana dengan yang tetakhir, soal terorisme? Dia menyebut “dinamika perluasan stigma radikal yang oleh sebagian orang dianggap tidak jelas metodenya“. Tentu saja yang dia wakili dengan kata sebagian orang itu ya palingan sebetulnya cuma dirinya sendiri tok. Perluasan stigma kemana? Entahlah. Jangankan kita, mungkin dia sendiri kalo disuruh nyebut paling blepotan kesana kemari seperti biasa. Tapi yang jelas golongan yang berkeinginan mengganti dasar negara dengan faham khilafah yang tumbuh besar karena pembiaran jaman SBY diberangus Jokowi. By the way, tahun ini Natal dan Tahun Baru aman lho.

3-0? He he he. Bangun oooi!

Wagub Sandi Uno Untung Besar Modali Pilkada

Mungkin salah ya, bukan Wagub Sandi Uno karena Wagub DKI sejarang masih Pak Djarot. Tapi Pilkada sudah lewat, dan meskipun KPU belum melansir pengumuman resmi, tapi dari quick count Pilkada DKI yang dilakukan sejumlah lembaga sepertinya sudah bisa dipastikan Sandi Uno dan pasangannya memenangkan pertarungan itu. Bahkan masing-masing calon sudah menggelar pidato resmi, pidato kemenangan Bang Anies dan pidato kekalahan Koh Ahok. Jadi bolehlah kalau saya sebut Wagub Sandi Uno dan Gubernur Anies Baswedan. Lagian ini blog saya koq, suka-suka saya dong. Hehehe.

Reaksi orang bermacam-macam saat membandingkan pendanaan kampanye masing-masing Paslon yang bertarung di Pilkada DKI. Tentunya sejak memasuki putaran kedua, orang memang tidak lagi memperhatikan Paslon yang sudah tersisih di putaran pertama, perhatian tertuju hanya pada dua Paslon yang maju ke putaran kedua. Menghabiskan jumlah yang “nggak beda-beda amat” dalam laporan biaya kampanyenya, kedua Paslon berbeda jauh dari sisi pendanaan. Kalau pasangan Ahok-Djarot sumber dananya didominasi swadaya para pendukungnya, pasangan Anies-Sandi hampir semua biaya kampanyenya ditanggung kocek pribadi Cawagub Sandi Uno.

Dari mana Sandi Uno punya uang sebanyak itu? Rasanya semua orang juga tahu kalau Sandi Uno memang pengusaha kaya raya. Kekayaan Sandi Uno bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilayangkannya pada bulan September 2016 lalu. Beritanya disini. Harta berupa kendaraan saja milyaran. Properti yang dimilikinya tidak hanya di Indonesia saja. Sandi Uno tercatat juga memiliki properti di Singapura dan Washington DC, nilai totalnya lebih dari 100 milyar. Angka itupun tidak seberapa karena total kekayaan Sandi Uno secara keseluruhan mencapai 3,856 trilyun. Sebagian besar kekayaan Sandi Uno berbentuk saham di berbagai perusahaan yang nilainya mencapai 3,721 trilyun.

Jadi jelas dong, kalau hanya mengeluarkan sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye mah … keciiil.

Tapi meskipun kecil secara prosentase dari total kekayaannya, tentu saja angka 100 milyar tidaklah kecil. Bahkan konon menjelang kampanye Sandi Uno menjual sebagian saham perusahaan yang dikuasainya untuk mendapatkan dana segar. Pastinya sih. Kan bayar peserta kampanye nggak mungkin pake saham. Orang susah diiming-iminginya pake sebako, bukan pake saham. Sementara itu sebagai seorang pengusaha yang “mainan” utamanya investasi, memang nggak mungkin orang sekalas Sandi Uno akan menyimpan uang sampai 100 milyar nganggur dalam bentuk tunai. Memang dalam LHKPN-nya sendiri juga harta berbentuk tunai dan setara kas lain milik Sandi Uno “hanya” 12,9 milyar rupiah plus 30,25 juta dolar Amerika. Nggak sampe 100 milyar kan.

Sandi Uno Untung Besar

Sebagai pengusaha, tentunya Sandi Uno berhitung sangat cermat. Konon namanya pengisaha itu duit 100 perak yang keluar aja mesti jelas balik dengan keuntungan berapa. Apalagi 100 milyar coy!

Pada tanggal 20 April 2017, sesaat setelah kemenangan Sandi Uno dan pasangannya dalam Pilkada DKI, Kompas memberitakan lonjakan tajam kenaikan harga saham Saratoga Capital milik Sandi Uno. Beritanya disini. Hari pemungutan suara, seperti kita ketahui, adalah pada tanggal 19 April 2017.Sore harinya kita sudah mengetahui kemenangan pasangan Anies – Sandi melalui sejumlah “quick count”. Jakarta libur saat itu. Besoknya, tanggal 20 April 2017, saat bursa saham dibuka pada pukul 9 pagi, saham Saratoga dibuka dengan harga Rp 3.700 per lembar. Hanya dalam satu jam, pada pukul 10 pagi, harga saham Saratoga melesat 14.54% menjadi Rp. 4.330 per lembar.

Sedikit ya? Cuma dari Rp. 3.700 menjadi Rp. 4.330, artinya kan cuma Rp. 630 rupiah saja. Iya kalau kita hanya bicara satu lembar. Sandi Uno tercatat menguasai 754 juta lembar saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG). Silahkan keluarkan kalkulator, hitung berapa 630 rupiah kalau dikalikan 754 juta. Dapat angkanya? 475 milyar saudara-saudara … hampir setengah trilyun. Kalau konon Sandi Uno merogoh kantongnya sebesar sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye bersama pasangannya yang “mokondo” dan partai-partai pendukungnya yang “cap jahe” itu, dan kemudian mendatangkan 475 milyar dalam bentuk kenaikan harga saham, bukankah itu untung besar namanya?

Berapa waktu yang dihabiskan Sandi Uno untuk merintis proses ke Pilkada DKI? 6 bulan? Setahun? Not bad at all ya?

Memang sejumlah analis mengatakan bahwa lonjakan kenaikan harga saham itu merupakan lonjakan sesaat, spekulasi, imbas langsung dari naiknya sentiman positif terhadap sosok Sandi Uno atas kemenangannya dalam Pilkada. Tapi kerja Sandi Uno belum kelihatan. Masih lama baru bisa dilihat kinerjanya sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat. Kalau buruk bisa saja harga sahamnya ikut turun. Tapi untuk beberapa waktu, sepertinya harga saham itu tidak akan mendadak turun lagi kecuali ada faktor lain yang luar biasa. Bahkan kecenderungannya tetap akan naik sampai nanti Sandi Uno benar-benar menjabat. Itupun kalau ternyata prestasinya bagus, sentimennya akan tetap positif, nggak akan membawa pengaruh negatif pada harga saham.

 

 

Drama Kebusukan Politik Ala MKD-DPR

Beberapa pekan lalu kita dihibur dengan tontonan menghebohkan ala para wakil rakyat kita di Senayan sana. Adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) – DPR RI yang bertugas menjaga keluhuran perilaku para anggota dewan yang (seharusnya) terhormat ini diuji dengan kasus yang tiba-tiba menjadi demikian terkenal dengan sebutan kasus #PapaMintaSaham.

Tidak terlalu mengherankan kalau kasus ini menjadi demikan menghebohkan. Yang terlibat bukan orang sembarangan. Kita mungkin sudah terbiasa mendengar sejumlah wakil rakyat tersandung kasus korupsi. Tapi kali ini kasus beraroma korupsi ini bukan hanya melibatkan wakil rakyat biasa, tapi Ketua DPR-RI saat itu, Setya Novanto. Selain melibatkan “orang besar”, kalau sampai kongkalingkong yang mereka atur ini benar-benar terjadi, jumlah uang yang akan terlibat juga luar biasa dahsyat.

Tak pelak semua mata menyorot apa yang terjadi di Senayan saat itu. Sidang demi sidang MKD yang digelar menyedot perhatian publik. Tarik menarik antar para anggota MKD yang demikian merasa terhormatnya sehingga dengan sengaja mengharuskan para terpanggil berbicara dengan panggilan “yang mulia” sangat jelas memperlihatkan bahwa banyak diantara mereka yang tidak berfikir, berbicara, dan bertindak atas dirinya sendiri atau rakyat yang diwakilinya tetapi kepentingan politik partai masing-masing.

Dengan kesalahan yang demikian jelas, para anggota MKD yang datang dari Partai Golkar – partai yang mendudukkan sosok Setya Novanto pada kursi strategis ketua DPR dan partai-partai lain yang berkoalisi dengan Partai Golkar – mati-matian membela meskipun dengan alasan yang bahkan dengan nalar awam pun sudah terasa sangat-sangat ngawur. Tapi apakah mereka yang berposisi berlawanan, mereka yang datang dari kelompok koalisi KIH, benar-benar menyuarakan nurani atau mengusung kepentingan politik untuk menjatuhkan Setya Novanto dari jabatan terhormat yang disandangnya sekaligus mencoreng muka partai dan koalisinya? Hanya Tuhan dan mereka sendirilah yang tahu.

Tapi sepertinya menjelang proses yang berdarah-darah itu sampai pada puncaknya, situasi justru berbalik. Mereka yang datang dari koalisi yang gigih membela Setya Novanto menyatakan bahwa sosok yang tadinya dibela mati-matian itu melakukan pelanggaran berat. Sementara mereka yang datang dari kubu berseberangan justru kompak menyatakan bahwa Setya Novanto hanya melakukan pelanggaran sedang. Aneh bin ajaib sudah pasti, dan yang lebih pasti lagi, di balik semua yang aneh bin ajaib tersembunyi tujuan tersendiri.

Begitulah akhirnya terungkap, ternyata dengan dinyatakan melakukan pelanggaran berat, proses harus dilanjutkan dengan pembentukan panel, proses panjang yang bertele-tele ini masih memberi peluang pada Setya Novanto untuk berkelit. Sangat ironis bukan? Demi kesempatan berkelit mereka memilih menenggelamkan muka sendiri ke dalam kubangan kotoran. Tapi begitulah politik, dari dulu kita memang selalu dicekoki dengan dogma bahwa politik itu kotor. Kotor tapi bergelimang uang dan kekuasaan.

Sementara dengan pelanggaran sedang Setya Novanto akan bisa dilengserkan dari jabatannya begitu keputusan diambil. Jadi sangat jelas bagi mereka bukan soal berat ringannya pelanggaran, strategi mereka sangat pendek, menurunkan Setya Novanto dari jabatannya secepat-cepatnya. Memang ada sisi lainnya, dengan begitu tidak ada celah untuk Setya Novanto meloloskan diri. Hanya saja saya sendiri melihat ini langkah sangat pragmatis yang justru melawan nurani, karena kesalahannya jelas-jelas sangat berat dan dari pernyataan-pernyataanya sendiri, mereka sangat tahu itu.

Partai Golkar dan kawan-kawan koalisinya kemudian lagi-lagi menegaskan filosofi pragmatis yang dianutnya. Dengan keputusan pelanggaran ringan, Setya Novanto hanya bisa dilengserkan dari jabatan Ketua DPR tapi tidak bisa dicabut keanggotannya. Tanpa berfikir panjang mereka mengambil manuver, tukar posisi antara Ketua Fraksi Golkar di DPR dan Ketua DPR RI. Dengan demikian Setya Novanto masih tetap bercokol di rumah para wakil rakyat yang (konon) terhormat itu dengan kekuasaan yang masih cukup strategis.

Saya hanya membayangkan betapa besarnya posisi tawar Setya Novanto di internal Partai Golkar dan koalisi pendukungnya sehingga saat dituduh bersalah mereka mati-matian mendukungnya dan saat benar-benar dinyatakan bersalah masih tetap dimanjakan dengan jabatan strategis.

Harapan MOS Dihapuskan

Sudah sejak saya masuk SMA lalu dilanjutkan masuk universitas saya memang “nyumpahin” ritual orientasi yang kemudian sekarang untuk level sekolah disebut sebagai Masa Orientasi Sekolah (MOS). Alasan ketidaksetujuan saya sama dengan ketidaksetujuan kebanyakan orang, peserta dijadikan kambing congek, kebo dungu, ato apapun istilah sejenis yang merujuk pada membiarkan diri diperlakukan sebagai orang dungu. Pita warna warni, tas dari karung, narik kaleng bekas, pake topi dari bola bekas, dan ketololan-ketololan lainnya.

Bukan cuma dari sisi penampilan, kebanyakan aktivitas juga sama sekali tidak relevan dengan keluhuran budi pekerti yang seharusnya diajarkan lembaga pendidikan. Ada yang benar-benar gak ada hubungannya, ada juga yang kemudian sengaja dibuat melenceng oleh oknum panitia dan senior. Semisal saja berkenalan dengan meminta tanda tangan senior dimana masing-masing senior memerintahkan melakukan hal-hal konyol sebelum memberikan tanda-tangannya. Tidak jarang senior mencuri-curi kesempatan dengan melakukan sesuatu yang membuat mereka bisa menyentuh bagian-bagian sensitif peserta wanita.

Beberapa tahun terakhir situasi sedikit membaik. SEDIKIT, kata itu perlu dicatat. Sedikit merujuk pada tidak ada lagi pernah terdengar kekerasan berlebihan yang dulu bahkan sering sampai merenggut nyawa. Di beberapa perguruan tinggi elite negeri ini bahkan sepertinya kematian satu-dua orang peserta dalam ritual orientasi menjadi sesuatu yang biasa. Tapi ketololan tetap terjadi dan menjadi pemandangan yang lumrah terlihat pada masa-masa masuk sekolah seperti saat ini. Gerombolan anak-anak dengan pakaian aneh-aneh misalnya.

Saya kira ini ketololan berjamaah, meskipun biasanya orang cenderung menunjuk keinginan para senior untuk “membalas dendam” atas perlakuan yang mereka terima saat mereka baru masuk dulu. Salah satu aspek ketololannya nih, mengajari mereka membalas pada orang lain, seperti cerita hakim arab yang terkenal itu. Kalo belum pernah denger cerita ini, mungkin kapan-kapan saya tulis di posting.

Mungkin memang senior merupakan kelompok yang paling bersemangat dengan kekonyolan ini. Banyak orang mengaitkannya dengan dendam itu tadi. Tapi entah SMP, SMU, bahkan perguruan tinggi sekalipun mereka tetaplah “anak-anak” yang memang memiliki kecenderungan nakal dan karena itu perlu aturan. Kalau para guru dan kepala sekolahnya membiarkan itu terjadi di depan hidungnya, jadi siapa yang salah? Sama saja dengan polisi membiarkan angkot ngetem di depan hidungnya bukan? Lalu kemana otoritas yang lebih tinggi lagi? Dari level terendah sampai kementrian? Semua seolah memang anteng membiarkan itu terjadi terus-menerus.

Setiap tahun selain pemandangan miris para calon intelektual penerus estafet pembangunan bangsa diperlakukan seperti orang dungu, berseliweran pula pendapat berkenaan dengan itu di sosial media. Tapi ya sejauh ini sih seperti banyak hal lain di negeri ini, berlalu begitu saja sebatas wacana.

anies-baswedan-stop-mosUntunglah tahun ini sepertinya kita mendapatkan seorang mentri pendidikan yang memiliki pendapat seperti saya dan anda, orientasi, MOS, yang model-model seperti sering kita lihat selama ini dipandang sebagai bentuk pelecehan dan karena itu harus dibuang jauh-jauh. Berita menunjukkan bagaimana Anies Baswedan, sang mentri, langsung menyuruh peserta menanggalkan atribut konyol pada saat beliau melakukan inspeksi mendadak. Beliau bahkan mengancam akan menindak guru dan kepala sekolah yang membiarkan hal itu tetap terjadi.

Tinggal kita lihat saja apakah benar-benar terjadi. Apakah tradisi konyol ini akan benar-benar terhenti. Berapa kasus pelanggaran yang masih terjadi. Berapa guru dan kepala sekolah yang terkena sanksi. Kalau tahun ini masih ada karena Pak Mentri baru memerintahkan penghapusan sekarang, mudah-mudahan mulai tahun depan tidak ada lagi. Periode orientasi yang mungkin memang diperlukan bagi peserta didik baru dapat diisi dengan aktivitas yang relevan dan bermartabat, sama tinggi martabatnya dengan sekolah dan universitas sendiri sebagai sebuah wahana pendidikan dimana bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi juga moral dan karakter anak bangsa dibangun. Semoga.

Royal Wedding Ala Jokowi Melanggar Aturan?

Dalam waktu dekat ini Presiden Jokowi akan menikahkan putra sulungnya bernama Gibran Rakabuming Raka dengan gadis yang sama-sama asal Solo bernama Selvi Ananda. Sebagai pemuda lajang seumurnya, tentu hal yang biasa saja jika Gibran bermaksud menikahi gadis pujaannya, meskipun dia anak seorang presiden. Sebagai orang tua, tentu juga hal yang biasa saja jika Jokowi dan keluarga menikahkan anaknya. Toh tidak ada hal negatif yang melatar belakangi pernikahan tersebut, sebutlah hamil duluan misalnya.

Hanya saja banyak kalangan tertuama golongan “haters” menghubungkan dengan peraturan yang dibuat Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, yang dengan semangat agar para pejabat negara mengedepankan gaya hidup sederhana, melarang pejabat negara menghelat acara pernikahan anak-anaknya dengan mengundang lebih dari 400 tamu. Sebuah semangat yang layak diacungi jempol tetapi sepertinya tidak mudah untuk diimplementasikan.

Mungkin tidak terlalu sulit jika pejabat tersebut hanya sekelas camat misalnya. Tapi untuk seorang presiden memang tentunya lumayan dilematis. Secara adat istiadat ketimuran, apakah sopan jika seorang presiden tidak mengundang kolega-koleganya pada saat menghelat acara seperti itu? Bayangkan saja jika relasi-relasi sang presiden diundang, berapa mentri, berapa pejabat setingkat mentri, berapa pejabat lembaga tinggi negara. Bagaimana dengan perwakilan negara sahabat? Bukan tidak mungkin pemimpin negara sahabat akan hadir sendiri alih-alih mengutus duta besarnya. Bagaimana dengan keluarga dan kerabat? Bagaimana dengan teman dan sahabat kedua mempelai? Bagaimana dengan keluarga, sahabat, dan relasi sang calon besan?

Saya sih nggak beneran baca itu peraturan. Tapi dari pemberitaan yang beredar sih batasan maksimumnya 400 undangan dan itu berlaku untuk semua pejabat termasuk presiden. Konon helatan yang digelar keluarga Presiden Jokowi ini menyebar ribuan undangan, jauh melebihi angka 400. Sejumlah media kemudian melansir pernyataan Menpan Yuddy yang seolah berkilah membuat pembenaran dengan menyatakan bahwa yang penting tidak keluar dari prinsip kesederhanaan. Salah satu parameter kesederhanaan yang dikemukakannya adalah pernikahan tersebut tidak digelar di tempat mewah tetapi di gedung pertemuan milik keluarga Jokowi sendiri.

Susah-susah gampang sih. Secara pribadi saya memang sangat faham bahwa untuk sekelas presiden, tentulah membatasi undangan hanya di angka 400 tidaklah realistis. Jadi kalo kemudian lebih, bahkan jauh lebih, ya wajar-wajar saja. Mungkin ada benarnya juga bahwa keluarga Jokowi tetap mengedepankan prinsip kesederhanaan seperti yang dikemukakan Menpan Yuddy.

Tapi di sisi lain yang namanya peraturan ya tetap peraturan, harus dilaksanakan dengan konsekuen. Bagaimana orang lain bisa disiplin mengikutinya kalau bos si pembuat peraturan yang pastinya sudah menyetujui aturan tersebut saja tidak mengikutinya. Justru disitulah ujiannya. Saat peraturan dikeluarkan, saat sang bos menyetujui peraturan tersebut dikeluarkan, ya terpaksa harus diikuti. Kalaupun saja sebagai bos Presiden Jokowi ternyata tidak tahu, tetap saja toh Menpan Yuddy itu anak buahnya.

Sementara itu tidak salah jika para haters kemudian juga mengambil sisi lain untuk menyerang. Memahami kewajaran dari keputusan keluarga Presiden Jokowi konon menyebar ribuan undangan, mereka menyerang dari sisi kebijakan pemerintah yang terlalu naif menyeluarkan peraturan yang tidak bisa dilaksanakan. Nah, maju kena mundur kena deh kan. Ya memang begitulah nasib pejabat.

Pada akhirnya selamat untuk kedua mempelai dan kedua keluarga.

Heboh Tempat Lahir Bung Karno

Kesalahan Presiden Jokowi yang menyebut Kota Blitar sebagai tempat kelahiran proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, ramai menjadi perbincangan netizen. Selain sejumlah media online, ranah media sosial juga tidak kalah heboh, terutama oleh kalangan “haters” yang menggunakan isu ini sebagai amunisi untuk mencemooh presiden yang sepertinya tidak mereka sukai ini.

Ada banyak argumen yang dipergunakan para “haters” untuk memojokkan Presiden Jokowi, dari mulai rendahnya kadar nasionalisme sampai kurangnya pengetahuan umum bahkan ada yang menghubungkannya dengan pembohongan publik. Lucu sih, masa iya ada seorang presiden cukup bodoh untuk membohongi publik dengan “memindahkan” tempat kelahiran seseorang, apalagi sosok tersebut merupakan satu dari segelintir sosok paling dihormati, bukan hanya di negeri ini tapi bahkan di mata dunia internasional.

Terus terang saja, saya pikir juga Bung Karno itu lahir di Blitar. Bukan tebak-tebakan, tapi karena saya juga sempat membaca dari beberapa sumber. Memang sudah cukup lama sih, jaman masih sekolah, tapi saya masih sangat yakin dengan ingatan saya. Dalam salah satu referensi yang pernah saya baca dulu, ada juga disebut alasan presiden penggantinya memakamkan beliau di Blitar ya karena Blitar merupakan kota kelahirannya.

Baru setelah heboh sekarang ini kemudian sejumlah sejarawan yang dikutip media-media berita memberi pencerahan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya, bahkan rumah tempat beliau dilahirkan pun ada disebut alamatnya. Konon alamat itu masih ada dan dapat dikunjungi. Ada juga rujukan pada informasi bahwa keputusan Pak Harto memilih Blitar sebagai tempat pemakaman Bung Karno bukanlah harena Blitar merupakan kota kelahirannya, tetapi menempatkannya berdekatan dengan tempat peristirahatan terakhir ibunda yang konon sangat dihormatinya.

Kalo buat saya sih untung saja Presiden Jokowi “keseleo”, kalau tidak sepertinya entah untuk berapa lama lagi saya akan tetap “sok tahu”, merasa tahu bahwa Bung Karno lahir di Kota Blitar, tempat dimana kemudian beliau dimakamkan.

Apa perlu kemudian menggunakan isu tersebut untuk memojokkan Presiden Jokowi? Koq cemen amat ya. Kalo mau mendiskreditkan seorang presiden itu coba deh pilih isu yang lebih serius. Lupa, nggak tau, kelewat baca, atau hal-hal sejenisnya kan sangat manusiawi, bahkan untuk seorang presiden sekalipun. Sebagian orang pernah luput mengucapkan selamat ulang tahun kepada ayah atau ibu kandungnya sendiri, hanya karena lupa. Apa kemudian kita akan mengatakan bahwa mereka anak-anak durhaka? Nggak se-“lebay” itu kan.

Apalagi kemudian beredar klarifikasi dari staf kepresidenan yang mengakui bahwa kejadian tersebut adalah akibat dari kesalahan mereka yang artinya bukan semata-mata kesalahan presiden. Tapi lagi-lagi, penjelasan itupun disikapi dengan “nyinyir”. Dari tudingan menggunakan anak buat sebagai bemper sampai ketidakmampuan memimpin sehingga kesalahan anak buah bisa sampai mempermalukan sang atasan tanpa sempat terdeteksi sebelumnya. Dan lagi-lagi inipun kalo menurut saya sih juga lebay.

Ya memang salah, setidaknya Presiden Jokowi memang melakukan kesalahan dengan mengucapkan sesuatu yang salah. Tetapi apa yang kemudian muncul sebagai reaksi dari sebagian kalangan ya memang lebay, membesar-besarkan hal kecil hanya untuk mendiskreditkan seseorang itu ya apalagi namanya selain lebay.

Mudah-mudahan Pak Jokowi dan para stafnya dapat mengambil hikmah dari kejadian ini. Kesalahan besar yang dilakukan “orang kecil” mungkin efeknya boleh dibikang tidak ada. Kalaupun ada mungkin hanya berpengaruh pada dirinya sendiri atau sebesar-besarnyapun mempengaruhi orang-orang di sekitarnya saja. Tapi bagi “orang besar”, kesalahan kecil pun bisa menghebohkan. Saya kira memang perlu keterbukaan untuk mengakui juga, bahwa Presiden Jokowi dan jajarannya memang sering membuat kesalahan-kesalahan nggak penting model begini.

Mencintai Kopi

Mencintai sesuatu yang manis mungkin mudah-mudah saja. Tapi mencintai yang pahit pastinya lain lagi ceritanya. Banyak orang Indonesia mencintai kopi, tapi kebanyakan orang menaburkan bersendok-sendok gula ke dalam cangkir kopinya untuk menutupi rasa pahit dengan rasa manis. Lalu kenapa nggak minum air gula saja? Manusia kadang memang aneh.

Filosofi Kopi

Dalam rasa pahit kopi tersembunyi sejuta rasa nikmat. Coba saja minum kopi tanpa gula perlahan. Ditahan di mulut jangan langsung ditelan. Dirasakan perlahan di lidah. Ada sensasi rasa manis yang tersembunyi di balik rasa pahitnya. Filosofi kopi ini mirip dengan kehidupan. Kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki saat kita bisa menemukan rasa manis yang tersembunyi di balik tumpukan pengalaman pahit.