Politik

Home/Politik

Dagelan 3-0 Ala Haboburokhman

Rajin menghibur dengan kontroversi heboh yang justru menjadi lawakan konyol, sudah lama sosok petinggi Gerindra bernama Habiburokhman ini tidak muncul. Kangen juga sih. Rasa-rasanya terakhir kita dibuat ngakak berhari-hari itu saat dia mencoba mengolok-olok hasil kerja mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan mangatakan dia nyasar di Semanggi 2.

Pagi ini tiba-tiba dia muncul saat saya membuka situs berita, lagi-lagi seperti biasa, lontaran kontroversial yang justru jadi menggelikan.

Hari-hari terakhir ini perhatian kita memang cukup tersita dengan berita seputar rangkaian debat Calon Presiden yang sesi pertamanya akan digelar bulan ini juga. Dikabarkan sesi pertama ini akan membahas 3 hal penting dalam kehidupan bernegara di tanah air tercinta ini berkaitan dengan persoalan hukum yaitu hukum dan HAM, korupsi, dan terorisme.

Sebagai petinggi partai pengusung Prabowo-Sandi, Habiburokhman nampak berupaya membangun kemenangan Prabowo-Sandi lewat perang opini. Dalam berita yang dilansir portal berita terkemuka detik.com Habiburokhman dengan lantang mengklaim kemenangan telak 3-0 Prabowo-Sandi atas pasangan petahana Jokowi-Ma’ruf Amin.

Soal penegakan hukum Habiburokhman menunjuk ketimpangan penegakan hukum, perbedaan perlakuan atas pelanggaran hukum yang dilakukan mereka yang terafiliasi dengan kubu oposisi dan mereka yang mendukung petahana yang saat ini memegang kekuasaan. Saat semua orang di kubu Prabowo yang terjerat kasus hukum berusaha membangun stigma “dikriminalisasi” yang artinya tidak melakukan tindakan kriminal tapi dituduh melakukan dan diproses hukum, Habiburokhman justru seolah mengakui kalau kasus-kasus itu memang pelanggaran hukum dan karenanya menggugat perlakuan yang berbeda dalam penanganannya.

Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri?

Sementara mengenai HAM dia menunjuk sejumlah kasus pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum terungkap seperti kasus Marsinah, Udin, dan Novel Baswedan. Dimana anehnya? Kasus Marsinah terjadi tahun 1993 sementara kasus Udin terjadi tahun 1996, keduanya masih pada masa pemerintahan Pak Harto. Kita tahu barisan keluarga Pak Harto sekarang berada di kubu Prabowo. Demikian juga SBY, Presiden Indonesia dengan kekuasaan terlama pasca Orde Baru yang juga gagal mengungkap kedua kasus pelanggaran HAM berat itu.

Soql korupsi, Habiburokhman menganggap banyaknya pejabat terutama pejabat daerah yang terjerat OTT KPK sebagai bentuk kegagalan pemerintah. Pemikiran yang terbalik 180 derajat dari logika wajar sebetulnya. Justru keberhasilan KPK untuk “unjuk gigi” ini merupakan refleksi komitmen pemerintahan Presiden Jokowi yang memberi ruang seluas-luasnya kepada KPK untuk bekerja. Lihat saja dulu. Bukannya sibuk mengungkap kasus korupsi, malah pimpinan-pimpinan KPK dijerat kasus oleh lembaga-lembaga penegakan hukum yang bekerja di bawah kekuasaan Presiden. Apa yang terjadi dengan pimpinan-pimpinan KPK seperi Antasari Azhar, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Rianto? Presiden yang menjabat saat itu ada di kubu mana?

Kita tahu pejabat-pejabat daerah adalah pejabat yang disokong Partai Politik untuk dipilih langsung, bukan pejabat yang ditunjuk dan dikomandoi Presiden. Mari bandingkan, jaman SBY barisan mentri, pejabat partai karena kebetulan SBY merupakan tokoh sentral di partai besutannya, sampai besan jadi pasien KPK. Lalu lihat sekarang, ada mentri Jokowi yang tertangkap KPK? Di kubu mana SBY berdiri sekarang?

Lagi ya … menggunting dalam lipatan, mendiskreditkan teman sendiri. Kalo itu dilakukan dengan kesadaran penuh namanya jahat. Kalo itu dilakukan nggak sadar, namanya bodoh.

Lalu bagaimana dengan yang tetakhir, soal terorisme? Dia menyebut “dinamika perluasan stigma radikal yang oleh sebagian orang dianggap tidak jelas metodenya“. Tentu saja yang dia wakili dengan kata sebagian orang itu ya palingan sebetulnya cuma dirinya sendiri tok. Perluasan stigma kemana? Entahlah. Jangankan kita, mungkin dia sendiri kalo disuruh nyebut paling blepotan kesana kemari seperti biasa. Tapi yang jelas golongan yang berkeinginan mengganti dasar negara dengan faham khilafah yang tumbuh besar karena pembiaran jaman SBY diberangus Jokowi. By the way, tahun ini Natal dan Tahun Baru aman lho.

3-0? He he he. Bangun oooi!

Wagub Sandi Uno Untung Besar Modali Pilkada

Mungkin salah ya, bukan Wagub Sandi Uno karena Wagub DKI sejarang masih Pak Djarot. Tapi Pilkada sudah lewat, dan meskipun KPU belum melansir pengumuman resmi, tapi dari quick count Pilkada DKI yang dilakukan sejumlah lembaga sepertinya sudah bisa dipastikan Sandi Uno dan pasangannya memenangkan pertarungan itu. Bahkan masing-masing calon sudah menggelar pidato resmi, pidato kemenangan Bang Anies dan pidato kekalahan Koh Ahok. Jadi bolehlah kalau saya sebut Wagub Sandi Uno dan Gubernur Anies Baswedan. Lagian ini blog saya koq, suka-suka saya dong. Hehehe.

Reaksi orang bermacam-macam saat membandingkan pendanaan kampanye masing-masing Paslon yang bertarung di Pilkada DKI. Tentunya sejak memasuki putaran kedua, orang memang tidak lagi memperhatikan Paslon yang sudah tersisih di putaran pertama, perhatian tertuju hanya pada dua Paslon yang maju ke putaran kedua. Menghabiskan jumlah yang “nggak beda-beda amat” dalam laporan biaya kampanyenya, kedua Paslon berbeda jauh dari sisi pendanaan. Kalau pasangan Ahok-Djarot sumber dananya didominasi swadaya para pendukungnya, pasangan Anies-Sandi hampir semua biaya kampanyenya ditanggung kocek pribadi Cawagub Sandi Uno.

Dari mana Sandi Uno punya uang sebanyak itu? Rasanya semua orang juga tahu kalau Sandi Uno memang pengusaha kaya raya. Kekayaan Sandi Uno bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilayangkannya pada bulan September 2016 lalu. Beritanya disini. Harta berupa kendaraan saja milyaran. Properti yang dimilikinya tidak hanya di Indonesia saja. Sandi Uno tercatat juga memiliki properti di Singapura dan Washington DC, nilai totalnya lebih dari 100 milyar. Angka itupun tidak seberapa karena total kekayaan Sandi Uno secara keseluruhan mencapai 3,856 trilyun. Sebagian besar kekayaan Sandi Uno berbentuk saham di berbagai perusahaan yang nilainya mencapai 3,721 trilyun.

Jadi jelas dong, kalau hanya mengeluarkan sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye mah … keciiil.

Tapi meskipun kecil secara prosentase dari total kekayaannya, tentu saja angka 100 milyar tidaklah kecil. Bahkan konon menjelang kampanye Sandi Uno menjual sebagian saham perusahaan yang dikuasainya untuk mendapatkan dana segar. Pastinya sih. Kan bayar peserta kampanye nggak mungkin pake saham. Orang susah diiming-iminginya pake sebako, bukan pake saham. Sementara itu sebagai seorang pengusaha yang “mainan” utamanya investasi, memang nggak mungkin orang sekalas Sandi Uno akan menyimpan uang sampai 100 milyar nganggur dalam bentuk tunai. Memang dalam LHKPN-nya sendiri juga harta berbentuk tunai dan setara kas lain milik Sandi Uno “hanya” 12,9 milyar rupiah plus 30,25 juta dolar Amerika. Nggak sampe 100 milyar kan.

Sandi Uno Untung Besar

Sebagai pengusaha, tentunya Sandi Uno berhitung sangat cermat. Konon namanya pengisaha itu duit 100 perak yang keluar aja mesti jelas balik dengan keuntungan berapa. Apalagi 100 milyar coy!

Pada tanggal 20 April 2017, sesaat setelah kemenangan Sandi Uno dan pasangannya dalam Pilkada DKI, Kompas memberitakan lonjakan tajam kenaikan harga saham Saratoga Capital milik Sandi Uno. Beritanya disini. Hari pemungutan suara, seperti kita ketahui, adalah pada tanggal 19 April 2017.Sore harinya kita sudah mengetahui kemenangan pasangan Anies – Sandi melalui sejumlah “quick count”. Jakarta libur saat itu. Besoknya, tanggal 20 April 2017, saat bursa saham dibuka pada pukul 9 pagi, saham Saratoga dibuka dengan harga Rp 3.700 per lembar. Hanya dalam satu jam, pada pukul 10 pagi, harga saham Saratoga melesat 14.54% menjadi Rp. 4.330 per lembar.

Sedikit ya? Cuma dari Rp. 3.700 menjadi Rp. 4.330, artinya kan cuma Rp. 630 rupiah saja. Iya kalau kita hanya bicara satu lembar. Sandi Uno tercatat menguasai 754 juta lembar saham PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG). Silahkan keluarkan kalkulator, hitung berapa 630 rupiah kalau dikalikan 754 juta. Dapat angkanya? 475 milyar saudara-saudara … hampir setengah trilyun. Kalau konon Sandi Uno merogoh kantongnya sebesar sekitar 100 milyar untuk membiayai kampanye bersama pasangannya yang “mokondo” dan partai-partai pendukungnya yang “cap jahe” itu, dan kemudian mendatangkan 475 milyar dalam bentuk kenaikan harga saham, bukankah itu untung besar namanya?

Berapa waktu yang dihabiskan Sandi Uno untuk merintis proses ke Pilkada DKI? 6 bulan? Setahun? Not bad at all ya?

Memang sejumlah analis mengatakan bahwa lonjakan kenaikan harga saham itu merupakan lonjakan sesaat, spekulasi, imbas langsung dari naiknya sentiman positif terhadap sosok Sandi Uno atas kemenangannya dalam Pilkada. Tapi kerja Sandi Uno belum kelihatan. Masih lama baru bisa dilihat kinerjanya sebagai pejabat publik yang dipilih rakyat. Kalau buruk bisa saja harga sahamnya ikut turun. Tapi untuk beberapa waktu, sepertinya harga saham itu tidak akan mendadak turun lagi kecuali ada faktor lain yang luar biasa. Bahkan kecenderungannya tetap akan naik sampai nanti Sandi Uno benar-benar menjabat. Itupun kalau ternyata prestasinya bagus, sentimennya akan tetap positif, nggak akan membawa pengaruh negatif pada harga saham.

 

 

Cerdasnya Program Kerja Sandiaga Uno

Program kerja Sandiaga Uno yang diungkapkannya pada awak media seperti dilansir portal berita online KOMPAS.COM membuat saya merasa terpanggil untuk turun gunung dan menuliskan komentar. Cuma pinjem istilah lho ya. Kata “turun gunung” memang tiba-tiba populer saat media menyebut-nyebut keputusan Megawati mendukung Ahok memaksa SBY turung gunung. Padahal saya sudah sempat berusaha untuk tidak “keceplosan” menulis sesuatu mengenai gelaran pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang meskipun baru akan digelar tahun 2017 yang akan datang, panasnya sudah terasa sekarang, bahkan juga dari beberapa bulan lalu. Alasannya sederhana saja. Buat apa? Toh saya juga bukan penduduk DKI Jakarta. Soal kebenaran pastinya “Wallahu Alam”. Lha saya tidak mendengar dengan telinga saya sendiri. Sementara sekarang kita dipaksa untuk meyakini bahwa media bisa dibeli untuk menjadi corong fihak-fihak tertentu yang bersedia membayar.

Patut diacungi jempol meskipun mungkin nggak usah tinggi-tinggi, bahwa setelah pasangan Cagub – Cawagub yang akan maju fixed dan didaftarkan ke KPU, ada kecenderungan baru. Kalau dulu berseliweran caci-maki dan propaganda hitam terutama yang menggunakan isu SARA sekarang agak mendingin. Sepertinya meskipun banyak pendukung dan simpatisan masih bersemangat “koar-koer”, para calon nampak memilih lebih elegan. Sesuai tuntutan banyak fihak, mereka mulai bicara program kerja. Kalaupun mencela dan mencemooh, mereka memilih menggunakan pendekatan yang santun dengan kalimat-kalimat terselubung. Mungkin memang agak sulit bertarung program dengan petahana. Program kerja petahana sudah terlihat implementasinya, sementara program-program calon penantang masih berupa wacana dan rencana. Baru kalau menang mereka bisa membuktikan apakah wacana itu akan selamanya hanya sekedar wacana atau bisa terlaksana.

Pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno sepertinya agak berbeda dibandingkan pesaingnya. Kalau pada pasangan Ahok – Jarot dan Agus – Sysviana nampak jelas bahwa Cagub-nya jauh lebih dominan, Anies – Sandi nampak lebih setara. Mungkin karena tadinya Sandi memang digadang-gadang menjadi Cagub. Kesetaraan ini sudah mereka buka secara gamblang lewat disampaikannya pembagian tugas diantara keduanya. Konon Sandi bukan hanya menjadi pemain cadangan tetapi akan mendapat tanggung jawab besar di bidang yang memang sesuai dengan latar belakangnya sebagai pengusaha, ekonomi dan infrastruktur. Dengan pembagian yang demikian jelas, tentu wajar kalau kita kemudian melihat bahwa program pasangan Anies – Sandi yang menyangkut ekonomi dan ifrastruktur merupakan program kerja Sandiaga Uno, sementara bidang lain merupakan program kerja sang Cagub pasangannya.

Baru-baru ini, seperti dilansir media nasional Kompas, Sandiaga Uno yang mulai sedikit demi sedikit membuka program kerjanya menyatakan bahwa pasangan itu akan menciptakan 2 juta lapangan kerja di Jakarta melalui program pengembangan kewirausahaan yang akan mereka genjot kalau mereka memenangkan pertarungan Pilkada. Berita mengenai program kerja Sandiaga Uno yang satu ini bisa dilihat DISINI.

Selintas mungkin nampak hebat. Seperti hampir seluruh wilayah tanah air lainnya, selain merupakan pusat perekonomian nasional bahkan regional, Jakarta juga masih didera masalah kemiskinan dan pengangguran. Karena itu sangat logis jika penciptaan lapangan kerja merupakan sesuatu yang strategis untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ibu kota secara keseluruhan. Tapi apakah benar menciptakan lapangan kerja baru di Jakarta merupakan sesuatu yang akan membawa lebih banyak manfaat daripada mudharat? Jakarta meskipun sama-sama masih didera masalah kemiskinan dan pengangguran, Jakarta beda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia sehingga pendekatannya juga tidak bisa sama. Penciptaan lapangan kerja baru apalagi lapangan kerja yang diciptakan merupakan lapangan kerja low-level, UMKM dan tenaga kerja yang diserapnya, bukan merupakan sesuatu yang cocok untuk Jakarta.

Apa yang akan terjadi kalau misalnya seorang pemulung di Jakarta kemudian diberdayakan sedemikian rupa sehingga dia bisa memiliki dan mengelola sebuah usaha kecil? Sesuai dengan proyeksi program kerja Sandiaga Uno, dia akan mulai bisa mempekerjakan orang lain, menyerap tenaga kerja, katakanlah 10 karyawan. Persoalannya adalah siapa yang akan dia pekerjakan saat dia mulai membutuhkan tenaga kerja tambahan. Sesuai dengan tradisi budaya masyarakat Indonesia turun temurun dari nenek moyangnya yang konon adalah seorang pelaut itu, dia akan mendatangkan kerabat, sahabat, handai taulan dari kampung halaman untuk datang ke Jakarta dan bekerja pada perusahaan yang didirikannya. Jadi kalaupun kemudian Sandi sukses membangun 200.000 UMKM yang secara rata-rata masing-masing mampu menyerap 10 tenaga kerja, yang ada bukan dua juta masyarakat Jakarta yang menganggur mendapatkan pekerjaan tapi Jakarta akan kedatangan 1.800.000 orang baru dari wilayah-wilayah lain. Lalu kemana penganggur-penganggur asli Jakarta? Ya tetep saja gak kemana-mana.

Jadi untuk yang satu ini, membuka 2 juta lapangan kerja baru di Jakarta melalui pembinaan UMKM yang merupakan program kerja Sandiaga Uno, menurut saya, blunder. Tidak akan terwujud, kalaupun terwujud akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Jelas menunjukkan kalau beliau tidak cukup menguasai masalah sehingga alih-alih membawa sesuatu untuk menyelesaikannya justru mempromosikan rencana yang justru akan menambah rumit masalah yang ada bahkan menciptakan masalah baru.

Drama Kebusukan Politik Ala MKD-DPR

Beberapa pekan lalu kita dihibur dengan tontonan menghebohkan ala para wakil rakyat kita di Senayan sana. Adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) – DPR RI yang bertugas menjaga keluhuran perilaku para anggota dewan yang (seharusnya) terhormat ini diuji dengan kasus yang tiba-tiba menjadi demikian terkenal dengan sebutan kasus #PapaMintaSaham.

Tidak terlalu mengherankan kalau kasus ini menjadi demikan menghebohkan. Yang terlibat bukan orang sembarangan. Kita mungkin sudah terbiasa mendengar sejumlah wakil rakyat tersandung kasus korupsi. Tapi kali ini kasus beraroma korupsi ini bukan hanya melibatkan wakil rakyat biasa, tapi Ketua DPR-RI saat itu, Setya Novanto. Selain melibatkan “orang besar”, kalau sampai kongkalingkong yang mereka atur ini benar-benar terjadi, jumlah uang yang akan terlibat juga luar biasa dahsyat.

Tak pelak semua mata menyorot apa yang terjadi di Senayan saat itu. Sidang demi sidang MKD yang digelar menyedot perhatian publik. Tarik menarik antar para anggota MKD yang demikian merasa terhormatnya sehingga dengan sengaja mengharuskan para terpanggil berbicara dengan panggilan “yang mulia” sangat jelas memperlihatkan bahwa banyak diantara mereka yang tidak berfikir, berbicara, dan bertindak atas dirinya sendiri atau rakyat yang diwakilinya tetapi kepentingan politik partai masing-masing.

Dengan kesalahan yang demikian jelas, para anggota MKD yang datang dari Partai Golkar – partai yang mendudukkan sosok Setya Novanto pada kursi strategis ketua DPR dan partai-partai lain yang berkoalisi dengan Partai Golkar – mati-matian membela meskipun dengan alasan yang bahkan dengan nalar awam pun sudah terasa sangat-sangat ngawur. Tapi apakah mereka yang berposisi berlawanan, mereka yang datang dari kelompok koalisi KIH, benar-benar menyuarakan nurani atau mengusung kepentingan politik untuk menjatuhkan Setya Novanto dari jabatan terhormat yang disandangnya sekaligus mencoreng muka partai dan koalisinya? Hanya Tuhan dan mereka sendirilah yang tahu.

Tapi sepertinya menjelang proses yang berdarah-darah itu sampai pada puncaknya, situasi justru berbalik. Mereka yang datang dari koalisi yang gigih membela Setya Novanto menyatakan bahwa sosok yang tadinya dibela mati-matian itu melakukan pelanggaran berat. Sementara mereka yang datang dari kubu berseberangan justru kompak menyatakan bahwa Setya Novanto hanya melakukan pelanggaran sedang. Aneh bin ajaib sudah pasti, dan yang lebih pasti lagi, di balik semua yang aneh bin ajaib tersembunyi tujuan tersendiri.

Begitulah akhirnya terungkap, ternyata dengan dinyatakan melakukan pelanggaran berat, proses harus dilanjutkan dengan pembentukan panel, proses panjang yang bertele-tele ini masih memberi peluang pada Setya Novanto untuk berkelit. Sangat ironis bukan? Demi kesempatan berkelit mereka memilih menenggelamkan muka sendiri ke dalam kubangan kotoran. Tapi begitulah politik, dari dulu kita memang selalu dicekoki dengan dogma bahwa politik itu kotor. Kotor tapi bergelimang uang dan kekuasaan.

Sementara dengan pelanggaran sedang Setya Novanto akan bisa dilengserkan dari jabatannya begitu keputusan diambil. Jadi sangat jelas bagi mereka bukan soal berat ringannya pelanggaran, strategi mereka sangat pendek, menurunkan Setya Novanto dari jabatannya secepat-cepatnya. Memang ada sisi lainnya, dengan begitu tidak ada celah untuk Setya Novanto meloloskan diri. Hanya saja saya sendiri melihat ini langkah sangat pragmatis yang justru melawan nurani, karena kesalahannya jelas-jelas sangat berat dan dari pernyataan-pernyataanya sendiri, mereka sangat tahu itu.

Partai Golkar dan kawan-kawan koalisinya kemudian lagi-lagi menegaskan filosofi pragmatis yang dianutnya. Dengan keputusan pelanggaran ringan, Setya Novanto hanya bisa dilengserkan dari jabatan Ketua DPR tapi tidak bisa dicabut keanggotannya. Tanpa berfikir panjang mereka mengambil manuver, tukar posisi antara Ketua Fraksi Golkar di DPR dan Ketua DPR RI. Dengan demikian Setya Novanto masih tetap bercokol di rumah para wakil rakyat yang (konon) terhormat itu dengan kekuasaan yang masih cukup strategis.

Saya hanya membayangkan betapa besarnya posisi tawar Setya Novanto di internal Partai Golkar dan koalisi pendukungnya sehingga saat dituduh bersalah mereka mati-matian mendukungnya dan saat benar-benar dinyatakan bersalah masih tetap dimanjakan dengan jabatan strategis.

Mengapa Prabowo Yakin Setya Novanto Benar?

Beberapa sumber termasuk portal berita online beritasatu.com memberitakan bahwa Prabowo Subianto mengatakan bahwa Setya Novanto tidak mencatut nama presiden. Pernyataan ini muncul setelah beliau menggelar pertemuan dengan para petinggi KMP yang juga dihadiri Setya Novanto, menyusul kisruh pencatutan nama Presiden Jokowi yang dilaporkan Mentri ESDM ke Majelis Kehormatan Dewan DPR RI baru-baru ini.

Rasanya tidak ada yang aneh apalagi salah kalau kelompok partai-partai yang mendudukkan SN di kursi empuk  Ketua DPR memanggil ybs. untuk didengarkan “cerita”-nya lalu kemudian membahas bersama-sama apa yang alan dilakukan untuk menghadapi polemik itu. Bahkan kalaupun mereka memutuskan untuk berjuang mempertahankan posisi SN-pun tetap terasa wajar. Sebagian orang saat merasa mukanya tercoreng akan berusaha membersihkannya dengan membuang kotoran yang menempel, sementara sebagian lagi mungkin lebih suka berusaha menutupinya saja.

Tapi saya kira kalaupun mau membela, bukannya seharusnya dengan cara yang wajar, masuk akal, atau bahkan elegan. Dan itu yang saya tidak lihat dari pernyataan Prabowo kali ini.

Sebagai pengagum berat Prabowo bahkan dari sejak beliau masih seorang TNI aktif, saya berharap beliau akan menendang SN yang sudah melempar mukanya dengan (maaf) tai, mempermalukan beliau dengan melakukan hal yang sangat memalukan. Sayangnya untuk satu dan lain hal – pastinya beliau sudah memikirkannya masak-masak – beliau memilih untuk mempertahankannya. Okelah, tapi kembali ke caranya itu yang membuat saya kecewa dua kali.

Apakah Prabowo sudah mendengarkan lengkap rekaman pembicaraan diantara ketiga orang tang konon ada dalam pertemuan itu? Dari yang muncul di permukaan, yang diketahui publik, sepertinya beliau baru mendengar dari sisi SN saja, yang sebagai pelaku yang tersudut, tentu bisa melakukan dan mengatakan apa saja untuk melindungi dirinya sendiri. Lalu kalau baru mendengar penjelasan dari SN saja, apa pantas beliau kemudian pasang badan mengatakan “SN tidak mencatut nama Presiden dan Wapres”. Bagaimana beliau bisa tahu pasti kalau hanya mendengar penjelasa dari orang yang dipersalahkan.

Kalau beliau demikian “pede”, apa jangan-jangan beliau memang sudah mendengar lengkap rekaman pembicaraan tersebut? Sebagai tokoh yang sangat berpengaruh, bisa saja beliau mendapatkan akses pada rekaman tersebut. Tapi kalau benar begitu, bukannya itu sesuatu yang tidak seharusnya terjadi? Rekaman itu baru sampai MKD yang kemudian konon meneruskannya ke Polri untuk verifikasi. Karena sehebat apapun Prabowo beliau bukanlah anggota MKD, bukannya seharusnya beliau tidak memiliki akses pada rekaman itu.

Kalau demikian adanya, kalaupun beliau ternyata sudah mendengar rekaman pembicaraan Setya Novanto saat (konon) memalak Freeport dengan mencatut nama Presiden dan Wapres, bukannya sampai titik ini sebaiknya beliau menggunakan itu untuk keperluan internal saja sementara ke luar beliau hanya bicara yang normatif saja, sampai mungkin datang waktunya beliau bisa mengatakan “Berdasarkan fakta, SN tidak mencatut nama Presiden.”

Apa Dosa Budi Waseso?

Hari ini santer beredar kabar bahwa Kabareskrim yang baru menjabat sekitar 8 bulan, Komjen Budi Waseso, akan dicopot Presiden. Bahkan konon sejumlah pejabat tinggi secara terselubung mengkonfirmasi berita tersebut. Benarkah demikian? Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan benar tidaknya kabar tersebut. Kalau tidak benar, saya kira Presiden selaku sosok yang paling berkompeten bisa dengan mudah menghentikan polemik dan spekulasi dengan bantahan resmi. Nyatanya tidak. Jadi mudah ditebak artinya kan.

Yang lebih menarik bagi saya adalah penyebabnya. Apa sebenarnya dosa Budi Waseso yang membuatnya tergusur dari posisi super strategis itu?

Kalau soal cerita kriminalisasi pimpinan KPK, dari sejak pencidukan Bambang Wijayanto sampai penetapan Abraham Samad sebagai tersangka, sepertinya nggak mungkin. Meskipun manuver yang dilakukan di hari-hari pertama masa jabatannya tersebut memang mengundang kegaduhan luar biasa, kasus itu sendiri rasanya sudah luar biasa. Saat gaduh-gaduhnya saja Presiden Jokowi tidak mempersoalkan, setidaknya secara terbuka, sepertinya aneh kalau baru sekarang berbuntut.

Meskipun langkahnya yang memang diakui atau tidak mengganggu kinerja KPK itu memang tidak pada tempatnya, saya melihat justru prestasi Budi Waseso akhir-akhir ini malah cemerlang. Bagaimana Polri bergerak cepat mengusut soal meroketnya harga daging sapi misalnya. Sampai yang terakhir yang mengundang banyak perhatian, langkahnya mem-follow-up kasus dwelling time yang kemudian berujung pada penggeledahan kantor Dirut Pelindo II yang berbuntut panjang di media.

Di bawah komando Budi Waseso, Bareskrim Polri menjadi sangat cepat, bahkan nampak lebih cepat dari KPK di jamannya Abraham Samad sekalipun. Kasus yang ditanganinyapun bukan lagi kasus yang dianggap tidak penting bahkan “bikin gara-gara”, tetapi kasus strategis yang menjadi perhatian Presiden. Dengan langkah-langkahnya itu, justru Komjen Buwas sepertinya lebih reaktif menindaklanjuti keinginan Presiden dibanding pejabat-pejabat lain di lingkaran kekuasaan.

Lalu apa dosa Budi Waseso yang membuat prestasinya seolah-olah hilang digantikan dengan hembusan angin rencana pencopotan? Cerita rotasi, pergeseran jabatan, saya kira cuma isapan jempol untuk memperhalus berita saja. Mana ada orang percaya bahwa jabatan super-strategis yang baru dijabat 8 bulan memang sudah wajar dirotasi?

Dari sekian banyak cerita, yang paling aktual tentu soal kemarahan RJ Lino yang langsung meminta Menteri Sofyan Jalil untuk berbicara dengan Presiden, dengan ancaman kalau tidak dia akan langsung mengundurkan diri. Demikian saktinyakan seorang Dirut BUMN sehingga bisa mempengaruhi Presiden untuk mencopot Kabareskrim? Rasanya koq nggak mungkin juga ya.

Jadi … lagi-lagi, apa dosa Budi Waseso kalau benar sampai dia dicopot dari jabatannya?

Sebagai rakyat, boleh dong saya berpendapat. Meskipun memang saya juga sadar sesadar-sadarnya kalau pendapat saya sama sekali nggak akan mempengaruhi keputusan Presiden. Dan karena ini blog pribadi saya, boleh juga dong saya tulis pendapat saya disini. Sebaiknya Komjen Budi Waseso tidak dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim. Biarkan beliau menuntaskan apa yang sudah dimulainya, membabat para “pemain”. Kalau ternyata yang kena dekat dengan poros kekuasaan dan membuat banyak fihak gerah, ya resiko lah.

Meskipun mungkin Presiden dan Kapolri menyiapkan jabatan yang tidak kalah mentereng untuk Komjen Buwas, saya kira kan jabatan itu bukan sekedar tingkatan tetapi juga mesti dilihat aspek strategisnya. Sepertinya dalam kondisi saat ini, jabatan Kabareskrim itu hanya kalah strategis dari Kapolri. Atau Komjen Buwas mau dijadikan Kapolri?

Jadi … pertahankan Budi Waseso!

Mencintai Kopi

Mencintai sesuatu yang manis mungkin mudah-mudah saja. Tapi mencintai yang pahit pastinya lain lagi ceritanya. Banyak orang Indonesia mencintai kopi, tapi kebanyakan orang menaburkan bersendok-sendok gula ke dalam cangkir kopinya untuk menutupi rasa pahit dengan rasa manis. Lalu kenapa nggak minum air gula saja? Manusia kadang memang aneh.

Filosofi Kopi

Dalam rasa pahit kopi tersembunyi sejuta rasa nikmat. Coba saja minum kopi tanpa gula perlahan. Ditahan di mulut jangan langsung ditelan. Dirasakan perlahan di lidah. Ada sensasi rasa manis yang tersembunyi di balik rasa pahitnya. Filosofi kopi ini mirip dengan kehidupan. Kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki saat kita bisa menemukan rasa manis yang tersembunyi di balik tumpukan pengalaman pahit.