Dalam sejarah negeri ini, memang jarang sekali harga yang sudah naik kemudian turun kembali, apalagi kalau sudah menyangkut bahan bakar minyak alias BBM. Meskipun teorinnya kemudian harga BBM ini dibuat mengambang, tetap saja sepertinya harga BBM turun itu sesuatu yang tabu. Sebetulnya sih sejak harga BBM dibuat mengambang, ada beberapa kali tercatat beberapa kali penurunan harga, tapi karena sebelumnya terjadi kenaikan drastis sementara penurunan hanya merupakan penyesuaian dari perubahan atas sejumlah parameter yang terkait – seperti kurs nilai tukar mata uang dan harga minyak dunia – penurunan ini biasanya tidak begitu terasa.

Tiba-tiba sebagai reaksi atas potensi krisis ekonomi yang konon disebabkan faktor-faktor eksternal, pemerintah Presiden Jokowi mengumumkan penurunan harga sejumlah komoditi termasuk BBM sebagai bagian dari rangkaian paket kebijakan ekonomi yang dibuat berseri dan dikeluarkan secara maraton dalam beberapa minggu terakhir ini. Yang namanya penurunan harga BBM di Indonesia, pastinya heboh, apalagi diumumkan langsung pucuk pimpinan negeri ini yang didampingi sejumlah pejabat penting yang terkait. Maklum, beberapa kali harga BBM turun naik menyesuaikan dengan entah kurs mata uang atau harga minyak dunia, sepertinya memang senyap-senyap saja, dianggap “business as usual”.

Tapi walaupun sejumlah fihak, khususnya yang memang dikenal sebagai pendukung-pendukung Jokowi, melontarkan pujian, buat saya sih harga BBM turun saat ini cuma main-main saja.

Sehari-hari saya menggunakan kendaraan berbahan bakar solar. Harga terakhir biasa saya bayar adalah Rp. 6.900, setelah diturunkan seiring paket kebijakan terbaru Jokowi sebesar Rp. 200, harganya sekarang Rp. 6.700. Hitung-punya hitung angka penurunan itu kurang dari 3%. Biasanya setiap minggu saya mengisi solar 2 kali, masing-masing Rp. 200.ooo. Dengan harga lama saya mendapat sekitar 29 liter, sementara dengan harga baru saya mendapat sekitar 30 liter. Artinya setiap kali mengisi bensin saya mendapat tambahan 1 liter.

Saya memilih untuk tetap menggunakan pendekatan angka rupiah bulat, Rp. 200.000, sama sekali tidak terfikir untuk meminta diisi tetap 29 liter dan membayar sedikit kurang. Alasannya soal kepraktisan saja, kasian penjaga SPBU harus mencari receh untuk kembalian. Namanya receh, apalagi sudah sampai pecahan koin, ujung-ujungnya cuman hilang nggak jelas juga.

Dihitung-hitung, kalau saya mengisi solar 2 kali seminggu, artinya dalam sebulan saya mengisi solar sekitar 9 kali. Kalau setiap kali saya mengisi solar saya mendapat tambahan 1 liter seperti hitung-hitungan tadi, setiap bulan saya mendapat tambahan 9 liter, kalau dikalikan harga baru Rp. 6.700 per liter, artinya nilainya adalah Rp. 60.300. Sebetulnya kalau dilihat dari angka setelah ditotal begitu sih rasanya jadi besar. Apalagi kalau dikalikan setahun, lebih dari Rp. 700.000. Tapi karena jatuhnya cicilan, jadi tambahan seliter setiap kali isi solar, rasanya sama sekali tidak ada artinya. Saya tetap membayar Rp. 200.000 setiap kali isi solar, frekuensinya juga tetap, seminggu 2 kali.

Kalau untuk saya rasanya tidak ada artinya, bagaimana dengan mereka yang secara ekonomi lebih lemah? Rasanya sama saja ya. Saya yakin seyakin-yakinnya, untuk sopir bis atau angkutan penumpang lain maupun truk dan angkutan barang lain, penurunan sekecil itu paling hanya akan menguap menjadi asap rokok. Juga tidak membuat ongkos angkutan umum yang menjadi andalan aktivitas ekonomi masyarakat jadi ikut turun juga.

Kalau memang penurunan harga itu didapat dari efisiensi, saya kira lebih baik ditahan dulu saja. Gunakan uangnya untuk membuat efisiensi lebih tinggi lagi sehingga penurunan harganya jadi lebih terasa, baru turunkan harga. Atau bisa juga ditahan untuk menutup kalau nanti harga keekonomian naik akibat faktor-faktor tertentu seperti kenaikan harga minyak mentah dunia misalnya. Kalau pemanfaatannya bijaksana, bahkan bisa juga dipakai untuk keperluan lain dalam korporasi Pertamina, atau kalau memang aturan memungkinkan, manfaatkan saja untuk keperluan pemerintah.

Secara “perintilan” konsumsi masyarakat individual memang kecil, tidak ada artinya. Tapi kalau diagregasi secara nasional kan lumayan juga. Konon konsumsi solar tahun 2015 sampai bulan Agustus lalu saja sudah mencapai 90 juta kilo liter, artinya kan 90 milyar liter. Data diambil dari berita Liputan 6. Kalau dikalikan Rp. 200 penurunan harga, artinya sudah 90 x 200 milyar rupiah, 18.000 milyar. Nah loh … apa nggak besar itu?

Saya sendiri melihatnya kalau penurunan harga ternyata tidak secara segnifikan berdampak pada pengeluaran rumah-tangga masyarakat, lalu apa artinya? Padahal dana yang dikeluarkan kalau dihitung total secara nasional sangatlah besar, bisad dipakai untuk banyak keperluan. Apa artinya selain semata-mata hanya pencitraan saja? Meninabobokan masyarakat yang sedang panas dingin dengan banyak hal yang secara langsung bisa dihubungkan dengan ketidakmampuan pemerintah mengelola negara, dari pelemahan ekonomi dan melemahnya nilai tukar Rpiah sampai kabut asap dan mandulnya KPK? Biayanya terlalu besar kalau yang dicapai hanya itu saja sih.