Kasus pembunuhan atas gadis kecil berusia 8 tahun bernama Angeline di Bali menarik perhatian publik yang cukup besar. Mungkin karena sebelum ditemukan sudah tak bernyawa di halaman rumah tempatnya tinggal, Angeline sudah dilaporkan hilang sejak hampir sebulan lalu. Sementara berita hilangnya Angeline sendiri sudah sangat menarik perhatian publik, khususnya seliwerannya berita mengenai nasib malang gadis kecil berparas cantik itu di tangan ibu angkatnya.

Memang kisah kekejaman ibu tiri selalu menjadi domain yang menarik. Mana ada coba anak kecil di Indonesia yang tidak diperdengarkan cerita mengenai kejamnya seorang ibu tiri. Di luar rumah, cerita sejenis tidak kalah banyaknya, dari mulai kisah Cinderella yang berkali-kali di angkat ke layar kaca sampai film komedi legendaris berjudul Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota, yang meskipun tidak secara langsung berkisah mengenai kekejaman ibu tiri tapi ya tetep nyambungnya kesitu.

Ibu angkat mungkin tidak 100% beda dengan ibu tiri, tapi yang jelas ya sama-sama bukan ibu kandung.

Kisah seputar bagaimana sang ibu angkat membentak-bentak Angeline, menyuruhnya mengurus ayam setiap pagi sebelum sekolah layaknya buruh, sampai membiarkan si anak berjalan kaki berkilo-kilometer ke sekolah, sesuatu yang sangat langka jaman sekarang ini. Meskipun sempat dibantah dalam salah satu wawancara yang disiarkan televisi, semua orang lebih memilih mempercayai cerita kekejaman yang lebih dahulu tersiar.

Apalagi kemudian diketahui bahwa Angeline merupakan pewaris sebagian besar harta warisan ayah angkatnya yang ternyata seorang bule itu. Sontak publik mengambil kesimpulan bahwa kekejaman yang berakhir dengan pembunuhan itu ada hubungannya dengan keinginan si ibu angkat menguasai harta warisan.

Saat akhirnya jasad Angeline ditemukan terkubur di halaman rumah yang ditinggalinya bersama ibu tirinya sendiri, sekitar 3 minggu dari waktu dia dilaporkan hilang, mata semua orang langsug tertuju pada sang ibu angkat. Aneka kecaman langsung beredar terutama di ranah media sosial. Semua beramai-ramai menuduh, menghujat, memaki, mengancam, sang ibu angkat. Padahal saat itu pihak kepolisian sendiri jangankan memeriksa orang-orang yang diduga terkait, evakuasi jenazahnya saja belum selesai.

Saat pemeriksaan marathon yang kemudian dilakukan kepolosian terhadap ibu angkat, kedua kakak angkat, dan sejumlah orang yang tinggal serumah menghasilkan kesimpulan sementara bahwa pembunuhan tersebut dilakukan orang lain dan si ibu angkat sama sekali tidak terlibat, publik juga seolah tidak mau percaya. Sepertinya publik baru akan cukup merasa puas kalo polisi bisa menyimpulkan bahwa si ibu angkat merupakan otak dari kekejaman itu. Kalo nggak rasanya akan terus berputar-putar perang logika yang ujung-ujungnya seperti tidak masuk akal kalau si Agus Tai si mantan pembantu sebagai pelaku tunggal.

Tapi apapun lah, itu kekejaman yang luar biasa. Ketika banyak orang beramai-ramai menyebar petisi meminta pemerintah di Bali untuk menghentikan pembantaian anjing dengan alasan untuk mengendalikan wabah rabies, justru muncul kasus kekejaman yang luar biasa atas seorang anak manusia.

Pada akhirnya, kita tidak bisa mengembalikan nyawa Angeline. Kita juga tidak bisa membayar rasa sakit luar biasa yang mungkin diderita Angeline sebelum kehilangan nyawanya, siapapun yang dihukum, apapun hukumannya. Tapi bagaimanapun kejahatan harus dibayar, yang salah harus dihukum. Soal hukum Tuhan bukan urusan kita, urusan kita terbatas pada memastikan bahwa hukuman negara bisa terlaksana maksimal.

Angeline pasti sudah nyaman dan bahagia di tempatnya yang baru. Jauh dari kekejaman orang-orang yang tadinya berada disekitarnya.