Potensi bisnis digital untuk menghasilkan pendapatan sepertinya sudah difahami semua orang. Hanya saja nampaknya masih banyak orang yang belum sadar bahwa potensi bisnis digital menghasilkan pendapatan itu harus dibayar dengan tergusurnya model bisnis tradisional yang tadinya sudah kokoh dan berakar di pasar. Bukan hal baru sebenarnya. Hanya saja seiris berita yang saya baca kemarin membuat fikiran saya tergelitik untuk kembali berkomentar.
Dilansir portal berita detik.com, adalah sosok Sekjen Hippindo yang menyatakan bahwa “toko online di Indonesia salah konsep sejak awal“. Menurutnya toko online seharusnya menawarkan kemudahan alih-alih memberikan harga lebih murah dibandingkan toko-toko tradisional. Dalam berita itu disebutkan bahwa Hippindo adalah singkatan dari Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia. Artinya apa? Kalau ditilik dari namanya, rasa-rasanya asosiasi ini anggota-anggotanya adalah pengusaha-pengusaha yang menyewa tempat berjualan di pusat-pusat perbelanjaan.
Seperti biasa, ujung-ujungnya Pak Sekjen bernama Haryanto Pratantara ini menyalahkan pemerintah yang dinilainya lamban mengantisipasi pesatnya perkembangan bisnis digital. Karenanya dia menuntut pemerintah untuk segera mengatur supaya “tidak ada yang dirugikan”. Dikutip langsung dari berita detik.com, dia mengatakan “Kalo semua itu sudah diatur dengan baik, medan perangnya dibuat seimbang, maka masing-masing akan berkembang sesuai keunggulannya masing-masing”.
Saya melihat pernyataan Pak Sekjen ini sebagai bentuk kepanikan dari rasa tidak berdaya karena menjadari potensi bisnis digital akan segera memporakporandakan bisnisnya. Saya kira ini bukan soal “medan perang yang seimbang” seperti dia katakan. Meminjam analogi yang sama, bicara soal perang, tentunya persoalannya bukan seimbang atau tidak karena dalam setiap peperangan, mau jomplang atau seimbang, akhirnya akan ada yang kalah dan ada yang menang. Mana ada perang yang seri seperti pertandingan sepak bola? Mana ada perang yang dua-duanya menang atau dua-duanya kalah?
Medan bisnisnya sama, hanya senjata yang dipergunakan berbeda. Pak Haryanto dan teman-temannya berperang dengan menggunakan bambu runcing. Sementara itu para pemain bisnis online sudah menggunakan senapan. Kita tidak bisa mengatur supaya seimbang kemudian yang punya senapan harus bertempur dengan bambu runcing. Satu-satunya jalan kalau para pemakai bambu runcing ini ingin mempunyai kesempatan yang sama untuk menang adalah dengan membeli senapan. Tidak ada cara lain.
Apakah dengan membeli senapan kemudian dia pasti menang? Ya belum tentu juga. Karena yang sudah duluan pegang senapan tentunya sudah lebih trampil menggunakanya. Sementara mereka yang terbiasa memegang bambu runcing tentu harus membiasakan diri terlebih dahulu, belajar dan berlatih dulu supaya bisa membidik dan menembak dengan cepat dan tepat. Artinya apa? Artinya mereka yang belakangan membeli senapan, mempunyai kemungkinan menang lebih kecil.
Artinya apa? Artinya pebisnis tradisional yang kemudian membangun e-commerce untuk bertempur melawan pebisnis digital yang sudah lebih dulu ada kemungkinan besar akan kalah.
Potensi Bisnis Digital Sudah Lama Digdaya
Sebetulnya apa yang terjadi dengan bisnis Hippindo ini sudah lama terjadi dengan model-model bisnis lainnya dalam berbagai sektor. Apa sekarang anda masih mencari informasi melalui buku “Yellow Pages” yang dahulu setiap tahun diterbitkan dan dikirimkan Telkom kepada para pelanggannya? Model bisnis “business directory” ala Yellow Pages sudah kalah oleh search engine. Masih ingat berapa tarif yang dikutip operator untuk mengirim pesan singkat alias SMS? Sekarang kita bisa berkomunikasi secara tekstual tanpa harus berfikir biaya. Pesan yang kita tulis tidak harus singkat lagi. WhatsApp, Facebook Messenger, Line, dkk. sukses menjungkalkan SMS.
Kita pasti juga ingat bagaimana e-book menjadi pilihan murah dan praktis dibandingkan buku. Anda masih merentangkan tangan lebar-lebar untuk membaca koran atau sudah menggantikannya dengan ponsel? Banyak orang tidak peduli lagi dengan TV kabel dan memilih menghibur diri lewat Youtube. Dan baru-baru ini, tukang ojek digusur oleh pasukan berseragam hijau bermerk Gojek dan Grab.
Potensi bisnis online terlalu besar untuk dilawan. Sepetinya kawan-kawan Hippindo ini terlambat menyadari dan mengantisipasi. Jadi perlu digarisbawahi disini, yang terlambat mengantisipasi ini mereka sendiri, bukan pemerintah. Mereka yang jeli mengantisipasi dan menyiapkan langkah-langkah taktis sebelum terlambat bisa tetap bertahan bahkan berkembang. Lihat saja operator-operator telekomunikasi seluler. Mereka tetap dapat menjaga pertumbuhan bisnisnya meskipun “voice” dan SMS sebagai mesin uang utama mereka sudah tergusur.
Jangan lupa Pak … anda sudah menjadi pengusaha sebelum para pemain digital itu mengenal bisnis. Masa anda dan kawan-kawan bisa tergusur? Ayo Pak. Daripada menyalahkan pemerintah, lebih baik pikirkanlah sesuatu yang lebih cerdas. Anda tidak bisa menyalahkan kompetitor, dengan mengatakan harusnya mereka mengedepankan kemudahan dan kepraktisan, bukan harga murah. Sistem digital memungkinkan bisnis dikelola lebih efisien. Ujung-ujungnya harga bisa ditekan. Jadi jangan salahkan mereka kalau mereka bisa membuat harga lebih murah.
Bisnis tradisional perlu modal membangun atau menyewa toko, bisnis digital tidak. Karena ada bangunan fisik, tentunya perlu perijinan yang lebih rumit. Wajar saja. Katakanlah saja sesuai janjinya, pemerintah juga mengintensifkan penarikan pajak dari bisnis online, tetap saja bisnis online lebih efisien. Biaya sewa toko, biaya operasional toko, gaji SPG, dll. pastinya sangat mahal. Bisnis digital tidak harus mengeluarkan biaya-biaya itu, atau kalaupun mengeluarkan, jumlahnya sangat minim. Kantor dan gudang mereka tidak perlu mentereng di tempat strategis. Karyawan mereka tidak harus berbaju rapi dan dipercantik dengan aneka kosmetik.
Kalau efisiensi itu tidak di dibagi dengan konsumen dalam bentuk harga yang lebih murah, ya kelewatan serakahnya, hehehe. Nggak lah ya. Bukan itu. Mereka juga berhadapan dengan persaingan mereka sendiri. Bersaing dengan sesama pemain online. Mereka juga menggunakan instrumen harga untuk bersaing dengan sesamannya, sama dengan toko tradisional menggunakan instrumen harga untuk bersaing dengan toko sebelah. Kalau dengan tingkat efisiensi yang sama para pemain online ini menggunakan instrumen harga untuk bersaing diantara sesamanya, tentulah yang tergilas lebih dulu pemain-pemain tradisional yang memang tingkat efisiensinya tidak memungkinkan mereka masuk ke “range harga” dimana para pemain online bertempur.
Jadi Pak … keep calm and be smarter. Fikirkan bagaimana anda dan kawan-kawan bisa ikut memanfaatkan potensi bisnis digital ini supaya bisnis anda tetap moncer.
Terima kasih atas ulasannya, saya perlu luruskan bahwa kita tdk pernah keberatan dengan onlime krn ini memang merupakan trend yg tdk bisa dibendung. Oleh karena itu kami menyampaikan bahwa online dan offline merupakan dua hal yg sekarang tdk bisa dipisahkan melainkan saling melengkapi yg disebut dg Omnichannel.
Ada beberapa point penting yg terlewat dalam ulasan ini yg merupakan faktor utama penyebab keberatan kami yaitu penjualan online dg harga murah krn perbedaan peraturan perpajakan dan pengawasan barang yg beredar.
Toko online yg bukan merupakan distributor resmi, hanya dikenakan pajak penghasilan dari fee yg mrk terima dari jual beli di toko online, yaitu tdk dikenakan PPN. Ini saja sdh beda 10% dan penyebabnya krn pemerintah terlambat membuat aturan perpajakan untuk toko online ini. Dan banyak brg yg dijual di toko online tsb yg tdk memenuhi ketentuan syarat barang beredar spt: SNI, label bahasa Indonesia, BPOM, dst. Dengan kata lain diduga keras barang tsb merupakan selundupan yg tidak membayar pajak import serta pajak lainnya yg terkait.
Semoga penjelasan tersebut di atas dapat meluruskan kesalahpahaman yg terjadi.
Bila masih ada yg perlu ditanyakan lebih lanjut, dengan senang hati kami akan jelaskan.
Terima kasih