Selamat Jalan Tommy Page
Tommy Page meninggal dunia. So what? Memang siapa dia? Rasanya seumur-umur saya belum pernah menulis sesuatu tentang meninggalnya seseorang. Atau mungkin pernah, saat ibu saya berpulang. Apalagi kalau sosok itu sama sekali tidak saya kenal secara pribadi. Michael Jackson sebagai musisi rasanya jauh lebih tenar dibanding Tommy Page. Saat kabar kematiannya tersiar dan seseorang dalam satu obrolan ngasih tahu, kalo nggak salah saya hanya bereaksi “Kasian banget … emang kenapa matinya?”
Lalu apa keistimewaan Tommy Page sampe saat dia dikabarkan meninggal saya sampe nyempetin ngeblog? Hmmm. Mungkin keistimewaannya bukan dari sisi prestasinya sebagai musisi. Tapi dari sisi kesan yang pernah ditorehkannya dalam hidup saya. Bukan dia yang menorehkan kesan kali ya, kesan mengenai dia itu yang tertoreh cukup dalam di ingatan saya. Popularitas Tommy Page mendunia mulai akhir 1980-an. Saat itu saya seorang remaja. Anak SMA tepatnya. Lagi galau-galaunya, lagi sibuk-sibuknya mencari jati diri. Menemukan tempat di dalam lingkungan sosial saya, teman-teman sepermainan yang hampir semuanya ya teman-teman sekolah, teman-teman SMA.
Saat itu, kalangan remaja laki-laki seumur saya, atau mungkin setidaknya teman-teman sepermainan saya, sedang gandrung-gandrungnya dengan heavy metal. Nama-nama grup seperti Sepultura dan Metallica menjadi idola bersama. Jangankan lagu-lagu pop melankolis, ketahuan mendengarkan lagu-lagu slow rock dari grup-grup seperti Bon Jovi atau Gun’s N Roses misalnya, bisa menjadikan kita bulan-bulanan ejekan. Saat itu istilah “bully” rasanya belum dikenal.
Tapi kenyataannya memang setiap orang mungkin memang diciptakan dengan sisi romantis dan melankolis juga. Jadi saya, dan saya tahu persis sejumlah teman-teman saya juga, menyembunyikan kaset-kaset mellow yang hanya didengarkan saat lagi sendirian saja. Ada tempat khusus untuk menyembunyikannya sehingga kalau teman-teman datang, apapun yang mereka lakukan mereka tidak mungkin dapat menemukannya. Selain menyembunyikan baik-baik, biasanya saya juga hanya berani memutarnya larut malam. Saat tidak mungkin ada teman yang tiba-tiba datang.
Sebagian teman, saat “kebelet” banget ya mendengarkan dengan headphone setelah memastikan pintu kamar dikunci rapat-rapat. Tapi memang resikonya tetap sangat tinggi, karena kalau ada yang mendadak datang, kaset buru-buru disembunyikan. Artinya disembunyikannya masih di dalam kamar juga. Sementara kalau teman datang dan pintu kamar dalam keadaan terkunci, mereka pasti sangat curiga dan tanpa basa-basi lagsung menggeledah seperti KPK. Well, waktu itu sih yang namanya KPK bau-baunya sajapun belum kecium benernya.
Namanya koleksi rahasia memang tidak bisa banyak-banyak. Susah ngumpetinnya. Salah satu yang ada dalam koleksi rahasia saya adalah album-album Tommy Page ini. Itu yang membuat musisi, atau tepatnya penyanyi, yang satu ini jadi sangat berkesan buat saya. Saat kabar kematiannya membuat ingatan saya kembali melayang ke masa-masa itu. Ya pastinya lengkap dengan aneka perasaan galau khas anak remaja yang kebanyakan kegalauannya gak jauh-jauh dari urusan cewek. Pas lah sama lagu-lagunya Tommy Page itu.
Selepas SMA sebetulnya saya sudah tidak lagi mendengarkannya. Seingat saya sih koleksi itu turun ke adik saya. Saya kemudian lebih menggandrungi jenis musik lain dan, jangankan Tommy Page, lagu-lagu pop dari musisi-musisi yang lebih popuperpun saya mungkin hanya mendengar kalau diputar di kendaraan umum dimana saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memilih memutar kaset atau CD apa. Tapi rasa-rasanya popularitasnya juga semakin memudar. Sudah tidak lagi terdengar kabar ada album baru atau berita-berita sejenisnya.
Anyway … Selamat jalan Tommy Page. Kematiannya yang tragis di usianya yang relatif masih sangat muda cukup mengagetkan. Terima kasih sudah perna memberi warna pada hidu saya, di rentang usia yang paling berwarna.