Bisnis

Home/Bisnis

Branding Mobil di Bali

Setelah cukup lama vakum, beberapa bulan terakhir ini saya gaspol lagi untuk merintis bisnis baru. Seperti biasa, tentunya diawali dengan berbagai riset. Dari riset konsumen, riset produk, riset kompetisi, dan lain-lain. Setelah sejumlah instrumen dibangun dengan berpedoman pada hasil dari berbagai riset tadi, saya sampai pada langkah kecil, menyiapkan kendaraan operasional. Tentunya kalau kita bicara bisnis serius, kendaraan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja hanya berfungsi sebagai sarana transportasi, tetapi juga sedikit banyak berperan dalam promosi. Karena itu saya mulai menyiapkan langkah-langkah untuk menjadikan kendaraan sebagai media promosi, salah satunya dengan mencari perusahaan branding mobil di Bali.

Urut-urutannya memang panjang. Salah satu yang paling penting dari bisnis adalah pemasaran. Bagian yang sangat esensial dari pemasaran adalah branding. Implementasi branding salah satunya adalah mem-branding kendaraan operasional. Masih ragu dengan pentingnya branding? Coba baca artikel ini.

Branding Mobil di Bali

Ternyata mencari layanan branding mobil di Bali itu tidak semudah yang saya bayangkan. Secara keseluruhan sih memang layanan branding di Bali memang rasa-rasanya masih agak tertinggal. Tidak seperti kota-kota bisnis terkemuka, sebutlah Jakarta misalnya. Banyak perusahaan-perusahaan besar di Bali menggunakan jasa konsultan branding, tapi biasanya konsultan-konsultan yang mereka gunakan tidaklah berbasis di Bali. Entah mereka memang cabang dari jaringan besar sehingga untuk urusan branding ditangani oleh kantor pusat mereka, atau mereka menggunakan konsultan-konsultan branding luar, entah dari pusat-pusat bisnis tanah air seperti Jakarta, atau bahkan dari luar negeri seperti Singapura, Hong Kong, Australia, dan lain-lain.

Yang realitstis bisa kita dapatkan di Bali sepertinya sebatas eksekutor-eksekutor saja. Branding mobil mestinya merupakan bagian dari pengembangan brand image perusahaan secara menyeluruh. Nah bahkan untuk branding mobil di Bali kita juga hanya bisa dengan mudah mendapatkan eksekutor. Bukan eksekusi hukuman mati apalagi eksekusi esek-esek yang sering disingkat menjadi “ekse” lho ya. Maksud eksekutor disini adalah melaksanakan, mengerjakan. Misalnya saja design logo di Bali. Kita bisa menemukan banyak designer logo di Bali yang hasilnya tidak kalah bagus. Hanya saja, lagi-lagi, karena bermain di level eksekusi, kita tetap harus terlibat setidaknya dari sisi filosofi. Saat bicara implementasi branding menjadi branding mobil, di Bali ini kita juga hanya bisa dengan mudah mendapatkan designer grafis di Bali dan cutting sticker di Bali.

Cutting Sticker di Bali

Dalam implementasi branding mobil, ada dua hal yang terlibat. Pertama design. Meskipun kita punya logo menarik, tagline keren, dan material lainnya, membuatnya “nempel” dengan sempurna di mobil urusannya bisa sangat berbeda. Kalau kita menyewa jasa designer untuk membuat logo, biasanya dia hanya membantu sampai design stationary, semisal kartu nama, kop surat, dan teman-temannya, tidak sampai branding mobil.

Memang beda konsep sih design branding mobil ini, karen mobil kan tiga dimensi, jadi beda dengan kartu nama dan teman-temannya yang semua berbentuk kertas yang datar. Selain itu beda merk dan jenis mobil juga bisa membuat kita memerlukan design yang berbeda pula. Misalnya saja, design untuk truk yang box-nya cenderung kotak, tentunya beda dengan kendaraan penumpang yang biasanya lebih membulat dan ada banyak ornamen di sana-sini. Kesesuaian desing dengan bentuk mobil ini sangat esensial. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah biasanya implementasi branding di mobil ini menggunakan teknik cutting sticker. Warna sticker yang menjadi bahan tidak sefleksibel palet warna komputer yang boleh dibilang tidak terbatas. Disini kadang-kadang kita terpaksa berkompromi dengan memilih warna bahan yang paling dekat dengan yang kita inginkan.

Design biasanya dilakukan dengan komputer. Pemotongan kita tidak perlu terlalu khawatir juga karena umumnya teknik cutting sticker ini tidak lagi menggunakan cutter yang dikendalikan tangan, tetapi dengan mesin potong yang dikendalikan komputer seperti layaknya printer. Presisinya tidak perlu diragukan. Tapi langkah terakhir dari eksekusinya justru tidak ada jalan lain selain manual, menempel sticker yang sudah dipotong di permukaan badan mobil. Sticker untuk branding mobil sangat lengket. Jelas, karena dia harus bisa bertahan nempel dalam terik dan hujan selama bertahun-tahun. Kalau nempel sticker seukuran telapak tangan saja kadang-kadang kita kurang rapi, miring, ada gelembung udara tertangkap di tengah-tengah, ada kerutan, dan aneka persoalan lainnya, apalagi sticker besar seukuran badan mobil.

Kerapian memasang merupakan faktor yang sangat esensial dalam cuting sticker, dan ini benar-benar tergantung pada kecekatan tangan orang yang mengerjakan. Komputer sudah tidak lagi bisa membantu. Jadi saat kita mencari jasa cutting sticker untuk mengimplementasikan branding di mobil, pemasangan inilah hal yang paling esensial yang harus kita perhatikan saat memilih orang.

WAD Graph Bali

Cutting Sticker di Bali

Untungnya saat saya mengimplementasikan branding di mobil untuk keperluan bisnis baru saya ini, saya menemukan WAD Graph yang berada di kawasan Peguyangan. Untuk yang tidak cukup kenal Bali atau Denpasar, Peguyangan ini berada di pinggiran utara Kota Denpasar. Untuk mencapainya, cari saja Jalan Achmad Yani, ikuti jalan ini terus ke utara, sekitar 5-10 menitan kalau lancar, kita akan memasuki kawasan Peguyangan. Kalau mau tanya-tanya sama orang di pinggir jalan, jangan tanya Jalan Achmad Yani. Di Denpasar mereka mengenalnya dengan singkatan, A Yani, dengan cara pengucapan yang bersambung, seperti ayani.

Saya memiliki rancangan kasar. Kemudian Wahyu punggawa WAD Graph membantu saya menyesuaikan designnya dengan bentuk mobil yang saya bawa. Setelah ukur sana-sini, dimplementasikan di komputernya, disimulasikan dengan foto mobil, dirasa cocok kemudian lembaran-lembaran sticker yang warnanya sudah dipilih sebelumnya mulai dipotong. Masih agak satai dia bekerja. Dari mesin pemotong sticker masih melalui sedikit proses sebelum akhirnya mulai dipasang. Inilah perjuangan yang sesungguhnya. Lembaran-lembaran kertas lengket itu harus dipasang dengan presisi di permukaan yang tidaklah rata. Sepertinya sih peralatan yang digunakan sederhana saja. Semprotan berisi air sabun, lap kanebo, plat penekan seperti kape, dan hot gun.

Meskipun lama menunggu, sekitar 4 jam hanya untuk memasang saja, tapi hasilnya benar-benar memuaskan. Pemasangannya sangat presisi, hampir sama persis dengan simulasi. Sangat rapi juga, tidak ada sisa-sisa gelembung udara yang terperangkap di tengah-tengah, apalagi kotoran. Memuaskan, recommended banget.

 

Potensi Bisnis Digital Menggilas Apapun

Potensi bisnis digital untuk menghasilkan pendapatan sepertinya sudah difahami semua orang. Hanya saja nampaknya masih banyak orang yang belum sadar bahwa potensi bisnis digital menghasilkan pendapatan itu harus dibayar dengan tergusurnya model bisnis tradisional yang tadinya sudah kokoh dan berakar di pasar. Bukan hal baru sebenarnya. Hanya saja seiris berita yang saya baca kemarin membuat fikiran saya tergelitik untuk kembali berkomentar.

Dilansir portal berita detik.com, adalah sosok Sekjen Hippindo yang menyatakan bahwa “toko online di Indonesia salah konsep sejak awal“. Menurutnya toko online seharusnya menawarkan kemudahan alih-alih memberikan harga lebih murah dibandingkan toko-toko tradisional. Dalam berita itu disebutkan bahwa Hippindo adalah singkatan dari Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia. Artinya apa? Kalau ditilik dari namanya, rasa-rasanya asosiasi ini anggota-anggotanya adalah pengusaha-pengusaha yang menyewa tempat berjualan di pusat-pusat perbelanjaan.

Seperti biasa, ujung-ujungnya Pak Sekjen bernama Haryanto Pratantara ini menyalahkan pemerintah yang dinilainya lamban mengantisipasi pesatnya perkembangan bisnis digital. Karenanya dia menuntut pemerintah untuk segera mengatur supaya “tidak ada yang dirugikan”. Dikutip langsung dari berita detik.com, dia mengatakan “Kalo semua itu sudah diatur dengan baik, medan perangnya dibuat seimbang, maka masing-masing akan berkembang sesuai keunggulannya masing-masing”.

Saya melihat pernyataan Pak Sekjen ini sebagai bentuk kepanikan dari rasa tidak berdaya karena menjadari potensi bisnis digital akan segera memporakporandakan bisnisnya. Saya kira ini bukan soal “medan perang yang seimbang” seperti dia katakan. Meminjam analogi yang sama, bicara soal perang, tentunya persoalannya bukan seimbang atau tidak karena dalam setiap peperangan, mau jomplang atau seimbang, akhirnya akan ada yang kalah dan ada yang menang. Mana ada perang yang seri seperti pertandingan sepak bola? Mana ada perang yang dua-duanya menang atau dua-duanya kalah?

Medan bisnisnya sama, hanya senjata yang dipergunakan berbeda. Pak Haryanto dan teman-temannya berperang dengan menggunakan bambu runcing. Sementara itu para pemain bisnis online sudah menggunakan senapan. Kita tidak bisa mengatur supaya seimbang kemudian yang punya senapan harus bertempur dengan bambu runcing. Satu-satunya jalan kalau para pemakai bambu runcing ini ingin mempunyai kesempatan yang sama untuk menang adalah dengan membeli senapan. Tidak ada cara lain.

Apakah dengan membeli senapan kemudian dia pasti menang? Ya belum tentu juga. Karena yang sudah duluan pegang senapan tentunya sudah lebih trampil menggunakanya. Sementara mereka yang terbiasa memegang bambu runcing tentu harus membiasakan diri terlebih dahulu, belajar dan berlatih dulu supaya bisa membidik dan menembak dengan cepat dan tepat. Artinya apa? Artinya mereka yang belakangan membeli senapan, mempunyai kemungkinan menang lebih kecil.

Artinya apa? Artinya pebisnis tradisional yang kemudian membangun e-commerce untuk bertempur melawan pebisnis digital yang sudah lebih dulu ada kemungkinan besar akan kalah.

Potensi Bisnis Digital Sudah Lama Digdaya

Sebetulnya apa yang terjadi dengan bisnis Hippindo ini sudah lama terjadi dengan model-model bisnis lainnya dalam berbagai sektor. Apa sekarang anda masih mencari informasi melalui buku “Yellow Pages” yang dahulu setiap tahun diterbitkan dan dikirimkan Telkom kepada para pelanggannya? Model bisnis “business directory” ala Yellow Pages sudah kalah oleh search engine. Masih ingat berapa tarif yang dikutip operator untuk mengirim pesan singkat alias SMS? Sekarang kita bisa berkomunikasi secara tekstual tanpa harus berfikir biaya. Pesan yang kita tulis tidak harus singkat lagi. WhatsApp, Facebook Messenger, Line, dkk. sukses menjungkalkan SMS.

Kita pasti juga ingat bagaimana e-book menjadi pilihan murah dan praktis dibandingkan buku. Anda masih merentangkan tangan lebar-lebar untuk membaca koran atau sudah menggantikannya dengan ponsel? Banyak orang tidak peduli lagi dengan TV kabel dan memilih menghibur diri lewat Youtube. Dan baru-baru ini, tukang ojek digusur oleh pasukan berseragam hijau bermerk Gojek dan Grab.

Potensi bisnis online terlalu besar untuk dilawan. Sepetinya kawan-kawan Hippindo ini terlambat menyadari dan mengantisipasi. Jadi perlu digarisbawahi disini, yang terlambat mengantisipasi ini mereka sendiri, bukan pemerintah. Mereka yang jeli mengantisipasi dan menyiapkan langkah-langkah taktis sebelum terlambat bisa tetap bertahan bahkan berkembang. Lihat saja operator-operator telekomunikasi seluler. Mereka tetap dapat menjaga pertumbuhan bisnisnya meskipun “voice” dan SMS sebagai mesin uang utama mereka sudah tergusur.

Jangan lupa Pak … anda sudah menjadi pengusaha sebelum para pemain digital itu mengenal bisnis. Masa anda dan kawan-kawan bisa tergusur? Ayo Pak. Daripada menyalahkan pemerintah, lebih baik pikirkanlah sesuatu yang lebih cerdas. Anda tidak bisa menyalahkan kompetitor, dengan mengatakan harusnya mereka mengedepankan kemudahan dan kepraktisan, bukan harga murah. Sistem digital memungkinkan bisnis dikelola lebih efisien. Ujung-ujungnya harga bisa ditekan. Jadi jangan salahkan mereka kalau mereka bisa membuat harga lebih murah.

Bisnis tradisional perlu modal membangun atau menyewa toko, bisnis digital tidak. Karena ada bangunan fisik, tentunya perlu perijinan yang lebih rumit. Wajar saja. Katakanlah saja sesuai janjinya, pemerintah juga mengintensifkan penarikan pajak dari bisnis online, tetap saja bisnis online lebih efisien. Biaya sewa toko, biaya operasional toko, gaji SPG, dll. pastinya sangat mahal. Bisnis digital tidak harus mengeluarkan biaya-biaya itu, atau kalaupun mengeluarkan, jumlahnya sangat minim. Kantor dan gudang mereka tidak perlu mentereng di tempat strategis. Karyawan mereka tidak harus berbaju rapi dan dipercantik dengan aneka kosmetik.

Kalau efisiensi itu tidak di dibagi dengan konsumen dalam bentuk harga yang lebih murah, ya kelewatan serakahnya, hehehe. Nggak lah ya. Bukan itu. Mereka juga berhadapan dengan persaingan mereka sendiri. Bersaing dengan sesama pemain online. Mereka juga menggunakan instrumen harga untuk bersaing dengan sesamannya, sama dengan toko tradisional menggunakan instrumen harga untuk bersaing dengan toko sebelah. Kalau dengan tingkat efisiensi yang sama para pemain online ini menggunakan instrumen harga untuk bersaing diantara sesamanya, tentulah yang tergilas lebih dulu pemain-pemain tradisional yang memang tingkat efisiensinya tidak memungkinkan mereka masuk ke “range harga” dimana para pemain online bertempur.

Jadi Pak … keep calm and be smarter. Fikirkan bagaimana anda dan kawan-kawan bisa ikut memanfaatkan potensi bisnis digital ini supaya bisnis anda tetap moncer.

Telat Mempelajari Marketing Instagram

Cara marketing Instagram mungkin sudah dikuasai banyak para pemain online marketing. Melihat keramaiannya, sepertinya saya terlambat mempelajarinya. Karena sudah terlanjur terlambat, sempat terfikir untuk melewatkannya dan memanfaatkan waktu untuk hal lain saja. Tapi bukanlah katanya terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali? Jadi akhirnya ya sudahlah tidak ada salahnya. Mungkin mempelajari, mempraktekan, dan kalau ternyata memang sudah terlalu terlambat, kan bisa berhenti kapan saja.

Mengapa Tidak Belajar Cara Marketing Instagram?

Instagram sudah cukup lama hadir di jagat maya, menyusul popularitas trio raksasa Facebook, Twitter, dan LinkedIn. Google+? Ah … apa pula itu? Hahaha. Tapi saya memang tidak tertarik mengeksplorasinya untuk keperluan marketing. Saya ekstensif menggunakan Facebook dan Twitter, menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari cara marketing dengan social media itu sampai meyakini bahwa kedua portal social media itu memang cukup efektif dipergunakan untuk tujuan pemasaran.

Kenapa saat Instagram muncul saya lewatkan saja?

Bahkan sebelum serius mempelajari marketing dengan Facebook dan Twitter, saya cukup lama bermain dengan Flickr, portal berbagi foto milik Yahoo. Bukan untuk keperluan serius, hanya karena saya hobi fotografi saja. Ternyata sama dengan Yahoo yang menaunginya, popularitas Flickr juga terus menurun. Apalagi Facebook dan Twitter kemudian memberi fasilitas untuk posting foto juga. Jadi saya tidak berfikir bahwa portal social media berbagi foto yang baru muncul ini kemudian akan populer.

Pada saat Instagram muncul, saya belum terlalu banyak menggunakan smartphone. Kalau tidak salah ingat, bahkan saya saat itu masih mengandalkan Blackberry untuk keperluan komunikasi. Instagram yang “memaksa” pengguna menggunakan smarphone membuat saya malas. Kualitas foto yang dihasilkan smartphone saat itu juga belum terlalu bagus. Jauh beda dengan DSLR, bahkan kamera saku sekalipun. Sebagai penghobi fotografi, saya merasa membagi foto berkualitas smartphone sama sekali tidak asik.

Saat itu ada beberapa portal social media lain yang muncul ke permukaan, berusaha menyelip diantara dominasi para raksasa dengan menawarkan keunikan seperti Instagram dengan berbagi foto dari smartphone atau Path yang mengusung “niche” travel. Situs berbagi video Youtube juga hadir pada medio yang kurang lebih sama. Masih ingat dengan situs navigasi Waze yang selain peta juga memberikan informasi aktual mengenai perjalanan (macet misalnya) dengan mekanisme berbagi ala social media?

Dari beberapa nama di atas saja, siapa yang bertahan? Mungkin salah, bertahan sih bertahan. Siapa yang kemudian benar-benar tumbuh besar? Kebanyakan sih lama-lama semakin pudar warnanya.

Saat kemudian Youtube diakuisisi Google dan Instagram dikuasai Facebook, saya tidak berfikir keduanya kemudian akan dibiarkan berdiri dan menjadi besar sendiri. Mengapa? Karena berbagi foto bisa dilakukan di Facebook. Berbagi video bisa dilakukan di Google+. Tebakan saya, setelah dibeli, teknologinya akan diintegrasikan untuk memperkaya fitur masing-masing. Teknologi Youtube dipakai untuk memperkaya Google+ dan teknologi Instagram diambil untuk meningkatkan kemampuan berbagi foto pada Facebook. Sementara Youtube dan Instagramnya sendiri akan disuntik mati seperti Yahoo membeli kemudian menyembelih Koprol.

Dengan beberapa alasan itu, saya sama sekali tidak melihat adanya manfaat mempelajari cara marketing Instagram karena (saat itu) saya fikir cepat atau lambat toh akan mati juga. Kalau soal ribet, harus pake smartphone sementara waktu itu saya belum banyak menggunakannya, itu urusan kedua lah. Kalau potensial, kesulitan seperti itu pastinya sangat mudah dikesampingkan.

Lalu kenapa sekarang saya melirik Instagram untuk marketing?

Saya melihat pentingnya mempelajari cara marketing Instagram karena data menunjukkan bahwa Instagram merupakan portal social media yang paling efektif untuk menarik engagement. Pemain social media marketing atau digital marketing pada umumnya pasti faham bahwa engagement merupakan salah satu parameter yang luar biasa penting.

Kalau soal jumlah pemakai, mungkin memang “tidak seberapa” kalau dibandingkan dengan Facebook yang saat ini jumlah pemakainya lebi dari 1.8 milyar. Jumlah pemakai Instagram saat ini “hanya” 600 juta orang saja. Tapi angka itu juga sudah jauh menyalip pemain lama. Jumlah pengguna Twitter saat ini 317 juta. Sementara jumlah pengguna LinkedIn lebih sedikit lagi, 106 juta. Statistik lengkapnya dapat dilihat disini.

Tapi efektivitas menangguk engagment soal lain. Artikel social media ini mengungkap sebuah riset kecil yang menunjukkan tingginya efektivitas Instagram dalam hal engagement dan viralitas. Ringkas saja, dalam riset tersebut muncul angka sebagai berikut:

Posting pada Fan Page Facebook yang memiliki 3,2 juta fan, menghasilkan 9.405 like.
Posting pada akun Twitter yang memiliki 3,35 juta follower, menghasilkan 289 favorit dan 433 retweet.
Posting pada akun Instagram dengan 360 ribu follower, menghasilkan 52.237 like dan 315 komentar.

Jadi saya fikir meskipun mungkin agak, atau malah sangat, terlambat, penting bagi kita pemain digital marketing untuk mempelajari cara marketing Instagram.

Mencintai Kopi

Mencintai sesuatu yang manis mungkin mudah-mudah saja. Tapi mencintai yang pahit pastinya lain lagi ceritanya. Banyak orang Indonesia mencintai kopi, tapi kebanyakan orang menaburkan bersendok-sendok gula ke dalam cangkir kopinya untuk menutupi rasa pahit dengan rasa manis. Lalu kenapa nggak minum air gula saja? Manusia kadang memang aneh.

Filosofi Kopi

Dalam rasa pahit kopi tersembunyi sejuta rasa nikmat. Coba saja minum kopi tanpa gula perlahan. Ditahan di mulut jangan langsung ditelan. Dirasakan perlahan di lidah. Ada sensasi rasa manis yang tersembunyi di balik rasa pahitnya. Filosofi kopi ini mirip dengan kehidupan. Kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki saat kita bisa menemukan rasa manis yang tersembunyi di balik tumpukan pengalaman pahit.