politik

Home/Tag: politik

Selangkah Lagi Anies Sandi Menang … Atau Sebaliknya

Bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota negara merupakan cerminan dari Indonesia secara keseluruhan, sepertinya sekali lagi terbukti. Kita seolah-olah melupakan 100 wilayah lain di tanah air yang sama-sama mengadakan Pilkada bersamaan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur baru di DKI Jakarta. Dan kemarin gegap gempita kontestasi politik tersebut ternyata berakhir dengan “perpanjangan waktu”. Rupanya semesta masih memberi kesempatan kita menikmati hiburan yang “ngeri-ngeri sedap” ini lebih lama lagi.

Anies Sandi Menang … Kurang Lebih

Di luar prediksi saya, pasangan calon Anies Sandi menang telak dari Agus Silvi dan menempel pasangan incumbent dengan selisih yang sangat tipis. Saya memang menduga Agus Silvi memang akan berada di posisi ke-3 di garis finish, tapi saya tidak menduga selisihnya akan demikian besar. Tepi begitulah kenyataannya. Anies Sandi bukan hanya menang tapi menang telak atas Agus Silvi. Hasil quick count dari 5 lembaga menunjukkan perbedaan yang sangat besar, di atas 20% perbedaannya, antara kedua pasangan itu.

Agus Silvi Membantu Kemenangan Anies Sandi

Dugaan saya, Anies Sandi menang atas Agus Silvi karena banyak pendukung Agus Silvi akhirnya memutuskan memilih Anies Sandi karena banyaknya isu negatif yang mendera keluarga Cikeas dan Partai Demokrat. Bagaimanapun Agus tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY dan partai besutannya. Kondisi ini diperparah oleh blunder pernyataan dari orang-orang yang juga tidak kalah berpengaruh, ibu, adik, dan istri. Kalau soal Silvi yang tersangkut kasus korupsi sepertinya sih hanya sekedar bumbu saja.

Kans Kemenangan Anies Sandi Lebih Besar di Putaran Kedua

Tapi sebetulnya yang patut digarisbawahi dari hasil itu bukanlah soal Anies Sandi versus Agus Silvi. Tapi pasangan yang maju ke putaran kedua. Keberhasilan Anies Sandi memaksakan putaran kedua merupakan langkah besar menuju kemenangan yang sesungguhnya.

Banyak komentar menyebutkan bahwa kalau ingin menang, Ahok Jarot harus menang satu putaran. Memenangkan putaran kedua dinilai lebih sulit bagi pasangan incumbent ini daripada menang 50%+ di putaran pertama. Dengan mempertimbangan banyak faktor, saya pribadi cenderung setuju dengan pendapat ini.

Ahok Jarot Dipaksa Kerja Ekstra Keras

Kenyataannya situasi sekarang justru lebih menyulitkan. Meskipun pasangan Ahok Jarot memenangkan putaran pertama dengan mengumpulkan suara terbanyak, selisihnya dengan pasangan Anies Sandi sangat tipis. Hasil quick count yang dilakukan 5 lembaga secara konsisten menunjukan selisih kurang dari 4% saja.

Hitung-hitungan matematikanya sangat jelas dan sangat sederhana. Kita bulatkan saja dulu hasil rata-rata dari kelima lembaga quick count. Agus Silvi kita bulatkan menjadi 20%. Ahok Jarot dan Anies Sandi kurang lebih berbagi 80% sisanya dimana keduanya berada di kisaran 40% dan ada selisih sekitar 4%. Jadi anggaplah saja Ahok Jarot 42% dan Anies Sandi 38%.

Kita tidak perlu berandai-andai dengan parameter ini itu. Kita pakai satu faktor saja, sentimen agama. Saya yakin yang membuat Anies Sandi  seolah-olah kebanjiran suara di menit-menit terakhir adalah mereka yang menggunakan faktor agama sebagai parameter utama dalam memilih. Tetapi urung memilih Agus Silvi karena pasangan itu di saat-saat terakhir justru kebanjiran banyak masalah. Akhirnya pilihan mereka jatuh ke pasangan beragama Islam yang lain.

Nah kalau yang tersisa dan tidak pindah, yang 20% masih memilih Agus Silvi sekarang, kemudian tidak lagi bisa memilih Agus Silvi, bisa ditebak kemana perginya. Kalau Anies Sandi kedatangan 20% suara Agus Silvi, jelas Anies Sandi menang mudah. Artinya pasangan Ahok Jarot dan tim pemenangannya harus kerja ekstra keras untuk membuat publik “melek” dengan kelebihan mereka. Sehingga bukan hanya suara eks pasangan Agus Silvi yang bisa didapat tapi sebagian suara yang di putaran pertama menumpuk di pasangan Anies Sandi bisa ikut tergusur.

Dengan hasil kerjanya yang nyata terlihat dan kasus penistaan yang justru sudah “membalik”, harusnya mereka bisa.

Heboh Tempat Lahir Bung Karno

Kesalahan Presiden Jokowi yang menyebut Kota Blitar sebagai tempat kelahiran proklamator kemerdekaan sekaligus Presiden Republik Indonesia pertama, Bung Karno, ramai menjadi perbincangan netizen. Selain sejumlah media online, ranah media sosial juga tidak kalah heboh, terutama oleh kalangan “haters” yang menggunakan isu ini sebagai amunisi untuk mencemooh presiden yang sepertinya tidak mereka sukai ini.

Ada banyak argumen yang dipergunakan para “haters” untuk memojokkan Presiden Jokowi, dari mulai rendahnya kadar nasionalisme sampai kurangnya pengetahuan umum bahkan ada yang menghubungkannya dengan pembohongan publik. Lucu sih, masa iya ada seorang presiden cukup bodoh untuk membohongi publik dengan “memindahkan” tempat kelahiran seseorang, apalagi sosok tersebut merupakan satu dari segelintir sosok paling dihormati, bukan hanya di negeri ini tapi bahkan di mata dunia internasional.

Terus terang saja, saya pikir juga Bung Karno itu lahir di Blitar. Bukan tebak-tebakan, tapi karena saya juga sempat membaca dari beberapa sumber. Memang sudah cukup lama sih, jaman masih sekolah, tapi saya masih sangat yakin dengan ingatan saya. Dalam salah satu referensi yang pernah saya baca dulu, ada juga disebut alasan presiden penggantinya memakamkan beliau di Blitar ya karena Blitar merupakan kota kelahirannya.

Baru setelah heboh sekarang ini kemudian sejumlah sejarawan yang dikutip media-media berita memberi pencerahan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya, bahkan rumah tempat beliau dilahirkan pun ada disebut alamatnya. Konon alamat itu masih ada dan dapat dikunjungi. Ada juga rujukan pada informasi bahwa keputusan Pak Harto memilih Blitar sebagai tempat pemakaman Bung Karno bukanlah harena Blitar merupakan kota kelahirannya, tetapi menempatkannya berdekatan dengan tempat peristirahatan terakhir ibunda yang konon sangat dihormatinya.

Kalo buat saya sih untung saja Presiden Jokowi “keseleo”, kalau tidak sepertinya entah untuk berapa lama lagi saya akan tetap “sok tahu”, merasa tahu bahwa Bung Karno lahir di Kota Blitar, tempat dimana kemudian beliau dimakamkan.

Apa perlu kemudian menggunakan isu tersebut untuk memojokkan Presiden Jokowi? Koq cemen amat ya. Kalo mau mendiskreditkan seorang presiden itu coba deh pilih isu yang lebih serius. Lupa, nggak tau, kelewat baca, atau hal-hal sejenisnya kan sangat manusiawi, bahkan untuk seorang presiden sekalipun. Sebagian orang pernah luput mengucapkan selamat ulang tahun kepada ayah atau ibu kandungnya sendiri, hanya karena lupa. Apa kemudian kita akan mengatakan bahwa mereka anak-anak durhaka? Nggak se-“lebay” itu kan.

Apalagi kemudian beredar klarifikasi dari staf kepresidenan yang mengakui bahwa kejadian tersebut adalah akibat dari kesalahan mereka yang artinya bukan semata-mata kesalahan presiden. Tapi lagi-lagi, penjelasan itupun disikapi dengan “nyinyir”. Dari tudingan menggunakan anak buat sebagai bemper sampai ketidakmampuan memimpin sehingga kesalahan anak buah bisa sampai mempermalukan sang atasan tanpa sempat terdeteksi sebelumnya. Dan lagi-lagi inipun kalo menurut saya sih juga lebay.

Ya memang salah, setidaknya Presiden Jokowi memang melakukan kesalahan dengan mengucapkan sesuatu yang salah. Tetapi apa yang kemudian muncul sebagai reaksi dari sebagian kalangan ya memang lebay, membesar-besarkan hal kecil hanya untuk mendiskreditkan seseorang itu ya apalagi namanya selain lebay.

Mudah-mudahan Pak Jokowi dan para stafnya dapat mengambil hikmah dari kejadian ini. Kesalahan besar yang dilakukan “orang kecil” mungkin efeknya boleh dibikang tidak ada. Kalaupun ada mungkin hanya berpengaruh pada dirinya sendiri atau sebesar-besarnyapun mempengaruhi orang-orang di sekitarnya saja. Tapi bagi “orang besar”, kesalahan kecil pun bisa menghebohkan. Saya kira memang perlu keterbukaan untuk mengakui juga, bahwa Presiden Jokowi dan jajarannya memang sering membuat kesalahan-kesalahan nggak penting model begini.

Mencintai Kopi

Mencintai sesuatu yang manis mungkin mudah-mudah saja. Tapi mencintai yang pahit pastinya lain lagi ceritanya. Banyak orang Indonesia mencintai kopi, tapi kebanyakan orang menaburkan bersendok-sendok gula ke dalam cangkir kopinya untuk menutupi rasa pahit dengan rasa manis. Lalu kenapa nggak minum air gula saja? Manusia kadang memang aneh.

Filosofi Kopi

Dalam rasa pahit kopi tersembunyi sejuta rasa nikmat. Coba saja minum kopi tanpa gula perlahan. Ditahan di mulut jangan langsung ditelan. Dirasakan perlahan di lidah. Ada sensasi rasa manis yang tersembunyi di balik rasa pahitnya. Filosofi kopi ini mirip dengan kehidupan. Kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki saat kita bisa menemukan rasa manis yang tersembunyi di balik tumpukan pengalaman pahit.