Berpuluh-puluh tahun kehidupan saja, saya selalu menjadi orang yang pantang menyerah. Bahkan ketika saya berhadapan dengan sesuatu yang sangat sulit dan saya sendiri tidak melihat ada kemungkinan untuk berhasil sekalipun, berhenti, mundur, tidak pernah saya lakukan. Jangankan melakukannya, terlintas di dalam fikiranpun tidak. Jalan terus. Sering kali orang-orang dekat yang menyarankan untuk berhenti lama-lama jengkel sendiri, kemudian saran mulai berubah menjadi sindiran, omelan, bahkan makian. Ngotot, keras kepala, bebal adalah beberapa sebutan yang mereka tempel di dahi saya atau mungkin mereka gantung di leher saya.

Salah satu yang sangat kuat menempel di kepala saya adalah tokoh motivasi Napoleon Hill yang lebih dari seabad yang lalu menulis buku Think and Grow Rich. Prinsip yang dikedepankanya, pantang menyerah, 100 tahun kemudian melahirkan buku berjudul Three Feet from Gold yang legendaris. Meskipun buku ini ditulis Sharon Lechter dan Greg Reid, tapi karena prinsip dasarnya merupakan gagasan Napoleon Hill, Three Feet From Gold menjadi lebih identik dengan si pemilik gagasan daripada para penulisnya.

Ada juga beberapa kata bijak yang juga menempel sangat kuat dan menjadi dasar saya bergerak dengan prinsip yang kurang lebih sama, pantang menyerah. Vince Lombardi mengatakan “Winners Never Quit, Quitters Never Win”. Pengertiannya kurang lebih orang sukses karena dia tidak menyerah, kalau dia menyerah di tengah jalan, mana mungkin dia meraihnya. Para pemenang tidak pernah menyerah. Sementara itu mereka yang mudah menyerah tidak akan pernah meraih keberhasilan, karena sebelum keberhasilan itu tercapai dia sudah keburu menyerah.

Penulis dan tokoh motivasi lain, Paul Coelho mengatakan “You Are Not Defeated When You Loose, You Are Defeated When You Quit”. Kita belumlah habis meskipun kalah atau gagal, karena kita selalu bisa mencobanya lagi, lagi, lagi, sampai akhirnya berhasil.

Memang sih, dari pengalaman saya, memang pada akhirnya saya selalu berhasil mencapai tujuan saya. Tapi memang tidak selamanya mudah. Ada yang mudah, ada yang memerlukan kerja keras, ada yang harus berdarah-darah. Ada yang sekali dicoba langsung berhasil, ada yang harus dicoba dengan usaha luar biasa, ada juga yang harus dicoba berulang kali. Sering kali pada akhirnya memang kalau dihitung-hitung, pengorbanannya jadi terlalu besar dibandingkan keberhasilan yang diraih. Entah karena pengorbanannya yang memang besar, atau nilai keberhasilannya yang menurun seiring waktu yang terbuang saat berusaha.

Entah karena semakin lama saya semakin realistis atau sifat ngotot khas usia muda sudah mulai memudar seiring bertambahnya usia, sekarang jalan fikiran saya jauh berbeda. Ralat: sifat ngotot tidak benar-benar khas anak mudah sepertinya, karena setiap hari kita juga banyak melihat perilaku pemuda-pemuda manja yang jangankan ngotot berusaha, keluar keringatpun malas.

Saya mulai berfikir bahwa pantang menyerah tidak sepenuhnya merupakan perilaku yang bijaksana. Sering kali menyerah justru lebih baik. Tapi memang bukan sembarang menyerah, tetapi tahu persis kapan waktunya menyerah.

Gambar diatas saya modifikasi dari ilustrasi terkenal Three Feet from Gold. Sesuai dengan kisah di dalam bukunya, gambar aslinya menunjukkan bagaimana seorang penambang menyerah dan berhenti menggali, pulang dengan lunglai, padahal ternyata berlian yang dicarinya sudah sangat dekat. Kenapa dia menyerah? Karena dia tidak tahu kalau berlian yang dicarinya sudah begitu dekat, dia tidak bisa melihatnya. Yang dia tahu, dia sudah menggali terus, terus, terus, dan berlian yang dicarinya tidak juga ditemukan. Karena dia menyerah, semua usahanya sia-sia. Padahal kalau dia pantang menyerah, sedikit lagi saja, dia akan meraih keberhasilan.

Tapi dari gambar di atas, saya tidak hanya berfokus pada lorong yang bawah, yang menggambarkan si pecundang dengan lunglai menyerah padahal berlian yang dicarinya sudah demikian dekat. Saya memberikan perhatian sama besar pada si pantang menyerah yang digambarkan di lorong atasnya. Dia begitu bersemangat, pantang menyerah. Dia sudah menggali lebih jauh dari si pecundang dan masih terus menggali. Tapi dia menggali ke arah yang salah, sampai kapanpun dia menggali dia tidak akan mendapatkan apa-apa selain membuang-buang waktu dan tenaga.

Sampai kapan si pantang menyerah itu akan terus menggali? Mungkin sampai alam (atau Tuhan) membuatnya berhenti entah bagaimana caranya. Mungkin sampai dia menggali begitu dalam dan menemukan batu yang sama sekali tidak bisa ditembusnya. Saat itu terjadi, mana yang lebih parah? Si pecundang yang sudah lebih dahulu berhenti atau si pantang menyerah? Dua-duanya tidak mendapatkan apa-apa. Tapi jelas “kerugian” si pantang menyerah jauh lebih besar. Bukan hanya soal waktu, tenaga, dan pikiran, tapi kesempatan lain yang mungkin dilewatkan karena sedang fokus dengan yang sedang dikerjakan. Si pecundang yang lebih cepat menyerah mungkin sudah lebih dulu memulai sesuatu yang lain.