Ini cerita soal mi instan Indomie dan perkembangannya seiring dengan arus modernisasi global … halah. Dari sejak masa kanak-kanak jamannya hanya ada Supermi, saya memang bukan penggemar mi instan. Memang masih belum populer. Saking belum populernya, bukan hanya jarang, kalaupun sekali-sekali mi instan muncul di meja makan keluarga, biasanya mi instan ini disajikan sebagai lauk, dimakan bersama nasi. Satu bungkus bisa untuk sekeluarga. Mungkin itu yang membuat saya tidak begitu menyukai mi instan, entahlah.

Saat kuliah, jaman sudah berubah. Sudah ada beberapa merk mi instan beredar di pasaran. Supermi sebagai pionir sudah mendapat sejumlah kompetitor. Sebut saja mi instan Indomie, Sarimi, dll. Bahkan sudah ada mi goreng instan sebagai alternatif selain mi instan ala Supermi yang sejak awal hadir sebagai mi kuah. Cara konsumsinyapun sudah berbeda. Murah dan tersedia bahkan di warung-warung kecil di dalam gang-gang sempit, mi instan biasanya dinikmati sendiri. Sebungkus, dimasak sendiri, sekaligus habis. “Digado”, tidak lagi dimakan dengan nasi. Kalaupun dengan nasi biar lebih mengenyangkan, mi instannya satu bungkus ya buat sendiri.

Harganya yang murah, tersedia di mana-mana, dan mudah memasaknya membuat mi instan menjada “makanan pokok” para mahasiswa yang tinggal jauh dari orang tua, apalagi saat kalender mendekati akhir bulan dimana uang kiriman sudah mulai menipis.

Sebagai mahasiswa perantau, saja juga berhadapan dengan masalah yang sama, cadangan devisa yang menipis sampai setipis silet saat kalender mulai mendekati pojok kanan bawah. Tapi dalam kondisi itupun saat “teman-teman seperjuangan” mulai menjauhi warung nasi langganan untuk menghindari lilitan hutang dan menggantungkan hidup dari mi instan, saya lebih banyak memilih alternatif lain. Dengan biaya yang sama, daripada membeli sebungkus mi instan, saya lebih memilih sepiring nasi plus beberapa buah kerupuk, atau malah hanya sekantung “pilus”.

Jadi perhatian saya terhadap perkembangan permiinstannan nasional sangat kecil. Merk baru, rasa baru, gaya baru, tidak terlalu menarik perhatian saya. Saya tahu ada yang namanya pop-mi yang tidak perlu dimasak tapi cukup disiram air panas. Saya tahu ada bihun instan, yang sesuai namanya, bihun bukannya mi, tapi dikemas dan disajikan dengan cara yang sama. Saya tetap sangat jarang makan mi instan. Saya tetap saya. Dalam kondisi dimana kebanyakan orang akan melirik mi instan, saya lebih memilih alternatif lain. Lagian kondisi itu juga sangat jarang terjadi.

Beberapa hari yang lalu, muter-muter di supermarket dan melintas di lorong mi instan, saya tertegun cukup lama. Ternyata sudah sedemikian majunya perkembangan permiinstanan tanah air ini. Bukan hanya merk yang bejibun, masing-masing juga sangat kreatif menghadirkan aneka rasa.

Setelah cukup lama mengamati, sara rasa yang paling menojol nampaknya mi instan Indomie yang menyajikan rasa yang luar biasa aneh. Sebut saja rasa rendang yang merupakan makanan has Ranag Minang yang bukan hanya sudah meng-Indonesia bahkan sudah mendunia. Setidaknya di sejumlah negara yang pernah saya kunjungi, rendang bisa ditemukan dengan cukup mudah. Bukan hanya negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang lidahnya mungkin mirip-mirip. Di Hong Kong, di Amsterdam, ada juga.

Okelah rendang memang sudah begitu populer. Ternyata ada lagi Masakan Padang yang tidak sepopuler rendang, rasa dendeng balado. Ternyata tidak sampai disitu. Yang lebih spesifik dan lebih jarang ditemukan juga ada. Misalnya rasa rica-rica yang biasanya hanya bisa ditemukan di restoran-restoran Menado. Ada rasa iga penyet. Yang penyet-penyet ini kalau tidak salah masakan khas Jawa Timur. Ada juga rasa sambal matah khas Bali.

Andai saja saya masih kuliah. Mungkin saya juga akan jadi pemakan mi instan. Bayangkan betapa hebatnya. Meskipun uang di kantong sudah sangat pas-pasan, kita tidak harus tersiksa dengan makan Indomie setiap hari. Dompet boleh saja cekak, tapi kita tetap bisa menikmati masakan-masakan khas Nusantara seperti rendang, dendeng balado, iga penyet, dan lain-lain. Meskipun teksturnya tetap kenyal dan panjang khas gulungan mie, tapi kan yang penting rasanya.