Perasaan karir saya tidak moncer-moncer amat. Heran juga ketika suatu saat tiba-tiba ada yang bertanya “Apa yang paling penting dalam menunjang karirnya Mas …” Setelah agak hilang kekagetan saya dengan pertanyaan itu, sayapun mulai mengais-ngais lemari file yang ada di dalam kepala saya. Meskipun belum lama saya “pensiun”, kalau untuk mengingat-ingat, jadi sudah lama sekali rasanya. Lama tercenung akhirnya saya ingat bahwa pertanyaan itu bukan baru kali ini saya dengar. Memang sudah lama tidak pernah saya dengar lagi, tapi dulu-dulu sering banget. Kemudian saya juga ingat persis jawaban yang selalu dengan spontan meloncat dari mulut saya, “Cucukan kuping!”

Aha! Sekarang giliran yang bertanya yang kaget dan terheran-heran. Nggak aneh. Dulu-dulu juga orang sering terheran-heran dengan jawaban itu. Kalau sekarang ternyata jawaban itu masih membuat orang terheran-heran, artinya ternyata masih ada hal-hal yang setelah sekian tahun tidak berubah. Padahal Presiden Indonesia saja sudah beberapa kali berganti.

Kata banyak orang, dulu saat saya masih muda memang karir saya cemerlang. Tidak ada yang tahu bahwa saya sebetulnya memiliki kelemahan yang sangat mendasar, kelemahan yang bagi banyak orang merupakan penghalang dalam membangun karir. Beberapa kali saya mendengar psikolog, career coach, dan orang-orang sejenis mengatakan bahwa mereka yang memiliki masalah ini tidak mungkin dapat membangun karir yang cemerlang. Harus dihilangkan! Lanjutannya bisa ditebak, rentetan sesi konsultasi psikologi yang tanpa disadari membuat dompet lebih cepat menipis dari yang seharusnya. Sembuhkah? Hehehe. Kalau saya jawab nanti mungkin akan ada yang merasa profesinya dilecehkan. Apalagi saya memang tidak bisa memberikan jawaban sahih, lha saya cuma denger-denger saja, saya tidak pernah mengalaminya sendiri. Malas saya sudah harus buang waktu bolak-balik berkonsultasi, bayar mahal pula.

Kelemahan saya adalah kesulitan menjaga konsentrasi. Padahal dari sejak mulai bekerja, bidang profesi saya kebetulan salah satu yang terkenal membutuhkan konsentrasi sangat tinggi, penulis. Tepatnya menulis program komputer. Tapi tidak hanya saat menulis program konsentrasi saya mudah terganggu, bahkan untuk pekerjaan lebih “ringan” sekalipun, seperti menulis laporan atau menulis posting blog (halah … menulis lagi). Untuk berkonsentrasi saya tidak punya masalah berarti. Saya bisa memusatkan pikiran saya pada satu hal untuk jangka waktu yang lama. Saya bisa seharian memusatkan konsentrasi pada program yang saya tulis misalnya, dan tidak ada hal lain yang melintas di kepala saya. Sudah jadi kebiasaan kalau saat saya bekerja, makan siangpun sering kali saya lupa. Kalau orang sering kesulitan dalam hal ini, misalnya lagi konsen tiba-tiba duit yang ilang inget naro-nya dimana. Saya tidak.

Masalahnya konsentrasi saya tidak bisa diganggu dari luar. Mudah sekali buyar dengan hal-hal kecil. Misalnya suara bising mendadak, orang tertawa, ada orang menjatuhkan gelas, dering telepon, dll. Kalau saat sedang bekerja ada orang yang datang menghampiri dan menanyakan sesuatu misalnya, meskipun hanya perlu beberapa detik saja untuk menjawab, hancur sudah konsentrasi saya. Jangankan tamu atau kolega mengajak diskusi, orang datang sekedar meminta kunci mobil karena saya parkir menghalangi orang misalnya, hanya perlu 5 detik untuk merogoh saku dan melempar kunci ke tangan orang, sidah bsa membuat konsentrasi yang terbangun berjam-jam hilang dan sulit disatukan lagi.

Nah soal karir, tentunya sangat terkait dengan performa. Lalu bagaimana performa kerja bisa prima kalau kita tidak bisa bekerja dengan baik karena kesulitan berkonsentrasi? Gangguan tentunya datang setiap waktu. Apalagi sekarang gangguan seringkali sengaja kita “undang”. Kalaupun kita bekerja dalam satu ruang tersendiri yang ditutup dan dikunci rapat-rapat, gangguan bisa tetap datang dari dering ponsel, dari notifikasi Facebook, dll. Padahal sekian lama saya bekerja, saya selalu memilih untuk bekerja di dalam satu ruangan yang sama dengan tim saya. Meskipun saya pemimpin, saya bos, saya lebih suka bekerja bersama-sama alih-alih menutup diri di dalam ruangan sendiri. Gangguan konsentrasi berseliweran sepanjang hari. Ponsel sendiri di-silent, ponsel orang lain berdering. Orang saling bercanda, office girl bawa gelas lalu tiba-tiba jatuh. Entah berapa banyak ragam gangguan yang bisa terjadi setiap saat, sementara konsentrasi saya sangat sensitif terpecah dengan gangguan-gangguan seperti itu.

Saya cukup beruntung karena biasanya selalu dibantu asisten-asisten yang siap melindungi konsentrasi saya. Misalnya pada jam-jam dimana saya mendapat jatah untuk berkonsentrasi, mereka akan menjadi “anjing penjaga”. Tidak boleh ada tamu yang menemui. Tidak boleh ada anak buah mendekat meskipun sekedar bertanya. Sampai ponsel saya pun mereka pegang supaya kalau ada yang menghubungi dan harus segera diangkat, bisa mereka handle dulu. Membantukah? Sangat. Tapi tidak cukup. Karena telinga saya tetap bisa mendengar. Salah satu programmer saya tiba-tiba berteriak kegirangan karena bug yang menghalangi program yang ditulisnya berjalan sempurna bisa dia selesaikan misalnya, tetap bisa membuat konsentrasi saya kabur.

Solusinya, ear plug alias cucukan kuping ini. Benda kecil yang biasanya dipakai saat berenang supaya air tidak masuk ke dalam kuping ini tidak pernah absen menemani saya. Saya bisa santai ketinggalan ponsel, dompet, kunci mobil, asal earplug tidak ketinggalan. Biasanya saya punya banyak dan menyimpan di semua tempat yang biasa saya “duduki”. Rumah, kantor, mobil, tas kerja, kompartemen di kolong jok sepeda motor, pastinya di dalam saku celana juga selalu ada, dan seperti dompet, setiap ganti celana tidak lupa juga earplug ikut saya pindahkan. Kalau benar-benar sial earplug tidak ada, biasanya saya pinjam earphone. Tidak bisa pinjam earplug karena jarang orang punya. Tapi earphone, apalagi programmer-programmer muda, hampir pasti punya. Kemampuan insulasi suaranya tidak sebagus earplug, tapi lumayan lah. Kalau sudah begini, kadang ada yang bertanya “Emang biasa dengerin musik apa sambil bekerja?” Mereka yang kenal baik dengan saya biasanya pada ngakak. Kalau kuping saya dicucuki earphone, bisa dipastikan kabelnya nggak nancep kemana-mana. Saya bukan sedang mendengarkan sesuatu, tapi sedang berusaha supaya tidak mendengar apa-apa.

Begitulah, tanpa earplug sulit saya menjaga konsentrasi. Tanpa konsentrasi terjaga, sulit saya menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Tanpa pekerjaan yang berhasil diselesaikan dengan baik, sulit membuat performa kerja optimal. Tanpa performa kerja optimal, sulit memacu karir. Jadi tanpa earplug tidak mungkin saya bisa memoles karir saya.