Boikot Inul? Berarti tadinya kalian doyan? Hehehe.

Pertarungan politik di tanah air beberapa bulan terakhir terus terfokus pada Pilkada DKI untuk memilih gubernur baru yang akan memimpin pemerintahan Ibu Kota mulai dari penghujung tahun 2017 yang akan datang. Meskipun dalam kerangka “Pilkada serentak” pada saat yang sama juga digelar pemilihan Kepala Daerah di lebih dari 100 wilayah lain, rasanya seperti Pilkada kali ini hanya dilaksanakan di Jakarta saja. Rasanya tidak salah kalau kehebohannya “nyama-nyamain” kalau tidak mau menyebut “ngalah-ngalahin” pemilihan presiden dimana Presiden Jokowi akhirnya unggul tipis atas Prabowo Subianto.

Mungkin terasa lebih panas karena “gorengan” isunya yang lebih sadis. Apalagi kalau bukan petahana yang diunggulkan memiliki “kelemahan” yang kemudian dieksploitasi habis-habisan. Konyol tapi nyata, yang dieksploitasi tersebut justru faktor yang sejak lama tabu untuk dipertentangkan di tanah air, SARA. Kebetulan Ahok sang petahana yang lahir dan besar di Belitung adalah seorang keturunan Tionghoa pemeluk Agama Kristen. Lengkap sudah, semua huruf dalam akronim SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) memposisikannya sebagai minoritas.

Tidak heran kalau isu yang digoreng kubu yang berseberangan adalah yang paling sensitif, agama. Di Indonesia Islam merupakan agama yang dianut mayoritas masyarakat. Jakarta yang merupakan tempat “tumplek”-nya aneka kepentingan dari seluruh wilayah memiliki potret yang kurang lebih sama. Mayoritas penduduk DKI Jakarta beragama Islam. Tapi tentu saja menyandang status sebagai Ibu Kota yang notabene adalah barometer negara, Pilkada DKI tidak hanya melibatkan warga DKI Jakarta saja, tapi juga seluruh anak bangsa. Kalau tidak terlibat langsung sebagai pemilik hak pilih, terlibat tidak langsung secara emosi.

Di putaran pertama yang diikuti 3 kontenstan, kita pernah mendengar santernya gerakan “Boikot Sari Roti”. Pangkal persoalannya sederhana saja. Pasca gerakan menuntut penegakan hukum atas petahana yang dituduh menista Agama Islam, produsen Sari Roti membuat pernyataan yang menyebut bahwa bagi-bagi roti produksinya bukanlah bentuk dukungan Sari Roti terhadap aksi masa tersebut. Sejumlah pendukung aksi membeli Sari Roti dalam jumlah besar dan membagi-bagikannya kepada peserta.

Menjelang putaran kedua, tiba-tiba muncul lagi seruan boikot yang kali ini ditujukan kepada sosok pedangdut kondang Inul Daratista. Boikot Inul! Kenapa? Sambil memuat foto dirinya bersama Ahok, Inul juga mengkritik perilaku sosok “bersorban” yang melakukan perbuatan tercela. Meskipun Inul tidak menyebut nama, memang sangat wajar kalau kita menghubungkannya dengan Imam Besar FPI, Habib Riziek, yang sempat diberitakan melakukan sesuatu yang menjurus pada tindakan asusila dengan seorang wanita yang bukan istrinya.

Tidak hanya netizen yang “bukan siapa-siapa”, bahkan musisi besar Ahmad Dhani turut bereaksi dengan menulis surat terbuka yang ditujukan pada Inul yang isinya jelas-jelas membela Habib Riziek meskipun Inul tidak secara eksplisit menyebutkan namanya.

Apa alasan mereka yang menyerukan boikot Inul? Menghina ulama hanya untuk membela seorang penista agama.

Luar biasa memang kedengarannya “kejahatan” Inul ini. Tapi terus terang saja saya bingung juga memahaminya. Mereka yang marah karena ulama idolanya “dihina”, marah karena agamanya “dinistakan”, adalah golongan Islam radikalis. Dengan tingkat radikalisme sedemikian tinggi, mestinya mereka sudah melaksanakan akidah Islam dengan sempurna. Atau nyaris sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Kurang lebih sama dengan sosok Habib Riziek yang menurut Ahmad Dhani menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya.

Entah dari mana Ahmad Dhani tahu kalau Habib Riziek benar-benar menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya. Kalau melihat umurnya, ada sekian tahun Habib Riziek menjalani hidupnya sementara Ahmad Dhani lahirpun belum. Jadi bagaimana Ahmad Dhani bisa memberikan kesaksian itu? Tapi ya sudahlah. Memang dalam ribut-ribut kontra Ahok akhir-akhir ini, memang sepertinya “kesaksian dari orang yang tidak menyaksikan” itu rasa-rasanya jadi sesuatu yang biasa terdengar di telinga.

Bali lagi ke para penyeru boikot Inul, okelah mungkin menyebut radikalis terlalu radikal, fundamentalis mungkin lebih cocok. Ya terserah saja sih sebetulnya. Tapi pada intinya adalah bahwa mereka seharusnya adalah golongan orang yang “menjaga kesuciannya sepanjang hidupnya”. Kali ini pakai tanda kutip ya.

Tentunya bagi mereka ini, nonton Inul itu sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Kita tahu bahwa Inul adalah sosok wanita yang menampilkan sensualitas. Ingat dong kasus “goyang ngebor” yang kemudian jadi sangat heboh. Sejak itu memang penampilannya lebih “sopan”. Pakaiannya tidak terlalu terbuka, tapi tetap saja memamerkan lekuk tubuhnya yang memang bak gitar Spanyol itu. Goyang ngebor mungkin memang tinggal sejarah, tapi aksi panggungnya tetap sensual dan pastinya dapat “memprovokasi” imajinasi liar kaum pria.

Sekali lagi, apakah mereka boleh menonton aksi panggung Inul?

Harusnya kan tidak. Bukankah melihat sesuatu yang merangsang syahwat itu katanya “pandangan pertama rejekimu, pandangan kedua dosamu”. Artinya kalau sengajain menyaksikan penampilan Inul di atas panggung, itu kan termasuk kategori “dosamu”.

Sebagai penyanyi dangdut, tentunya kalau bicara boikot Inul artinya jangan menyaksikan penampilannya. Nah kalau begitu bukankah mereka memang tidak sepantasnya menyaksikan penampilan Inul? Terus kenapa boikot Inul? Untuk apa memboikot, menolak untuk melihat, penampilan Inul yang memang tidak boleh mereka lihat? Kalau mereka menyerukan boikot, artinya selama ini mereka merupakan penikmat sensualitas penampilan Inul. Sekarang karena Inul dianggap menghina ulama, dianggap membela penista agama, mereka mengajak untuk tidak lagi menikmati keindahan lekuk tubuh Inul lengkap dengan gerakannya yang … ehmmm.

Menurut saya, dari sudut pandang agama Islam, Inul memang salah. Bukan karena dia mendukung Ahok. Bukan karena dia mengkritik sosok yang kemudian diasosiasikan dengan Habib Riziek yang diposisikan sebagai ulama oleh sebagian kalangan. Tapi karena penampilannya yang mengumbar sensualitas. Memang banyak yang lebih “parah” dari Inul. Tapi banyak yang lebih salah tidak membuat kesalahan menjadi benar. Tapi menjadi penikmati sensualitas yang ditampilkan Inul juga tidak kalah salahnya.

Kalau begitu bukankah lebih baik diam saja. Sadari kalau itu salah dan perbaiki saja. Nggak usahlah kemudian memamerkannya dengan memboikot Inul, mengajak untuk tidak lagi menyaksikan penampilannya.