Meskipun Pilkada serentak baru-baru ini diselenggarakan di lebih dari 100 wilayah di tanah air, mata masyarakat Indonesia bahkan dunia tersorot hanya ke satu titik saja, DKI Jakarta. Keunikan dimana salah satu calon yang kebetulan juga berstatus petahana adalah seorang anggota masyarakat dari golongan minoritas – beragama Kristen dan beretnis keturunan Tionghoa – telah membuat persaingan sangat panas karena yang dikampanyekan bukan lagi soal program-program pembangunan tetapi justru serangan terhadap status minoritas “Si Cina Kafir”.

Mendukung salah satu pasangan calon, Front Pembela Islam (FPI) yang sejatinya merupakan sebuah ormas keagamaan habis-habisan menyerang Si Cina Kafir dari sisi yang justru seharusnya tidak relevan di negara yang mengedepankan kebhinekaan ini, SARA. Dalam konstelasi yang sangat panas itulah kemudian salah satu petinggi FPI yang dikenal tempramental, Munarman, diadukan ke polisi karena tertangkap kamera melontarkan pernyataan yang mendiskreditkan bahkan memfitnah masyarakat Bali yang mayoritasnya merupakan pemeluk Agama Hindu.

Karena panasnya “udara” menjelang Pilkada DKI mulai mereda seiring berakhirnya pemungutan suara yang berakhir dengan keharusan diadakannya putaran kedua sementara paslon yang didukung FPI tersisih, membahas FPI dan tokoh-tokohnya yang kecanduan kontroversi itu sudah tidak menarik lagi. Apalagi dengan ketegasan Polri mengusut kasus-kasus yang melibatkannya membuat tokoh-tokoh itu juga cenderung lebih “jinak”.

Kemarin, atau mungkin beberapa hari lalu saya terlibat obrolan panjang dengan seorang yang merupakan tokoh masyarakat di tingkat yang paling dasar sehingga berhubungan langsung dengan masyarakat di pedesaan Bali. Obrolan itu yang kemudian kembali memicu ingatan saya mengenai kasus Munarman yang sempat ramai saat dia bolak balik dipanggil Polda Bali. Nggak tau sih udah sampe mana itu kasus. Sepertinya sekarang memang jadi sepi lagi meskipun sepertinya belum ketemu ujungnya.

Pak Made, sebut sajalah namanya begitu karena toh sekitar 25% orang Bali memiliki nama itu, adalah seorang Kelian Dinas di sebuah banjar di kawasan pedesaan Bali yang kebetulan bukan merupakan kawasan konsentrasi pariwisata. Struktur kemasyarakatan di Bali memang tidak mengenal RT/RW. Kalau di kebanyakan wilayah tanah air sebuah desa atau kelurahan terdiri dari sejumlah RW, desa dan kelurahan di Bali terdiri dari beberapa banjar. Bentuk banjar ini sendiri merupakan struktur tradisional yang kemudian dikombinasikan dengan struktur pemerintahan modern.

Tokoh utama dalam struktur organisasi sebuah banyar ada dua, sesuai dengan fungsinya tadi. Seorang “Kelian Adat”, sesuai namanya, bertanggung jawab memimpin masyarakat yang tinggal di banjar tersebut dari sisi adat dan agama, seperti misalnya penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan. Sementara seorang “Kelian Dinas” bertugas mengelola administrasi kependudukan, keamanan dan ketertiban, serta fungsi-fungsi kemasyarakatan modern lain seperti layaknya seorang ketua RW di wilayah Indonesia lainnya.

Pak Made menceritakan bahwa di banjarnya ada sekitar 150 orang warga pendatang dari luar Bali yang kesemuanya merupakan orang Indonesia. Kawasan di mana banjar Pak Made berada memang kawasan pedesaan yang jauh dari sentuhan pariwisata. Kebanyakan penduduknya petani. Cerita berlanjut pada bagaimana mengelola interaksi harmonis antara kaum pendatang dan penduduk asli Bali yang tentunya memiliki banyak perbedaan. Agama, bahasa, standar perilaku, dan sebagainya.

Yang menarik adalah pernyataan Pak Made yang menyebut dirinya bertindak sebagai “pelindung” bagi kaum pendatang yang notabene juga merupakan golongan minoritas. Seperti umumnya banjar di Bali, ada iuran yang harus dibayar setiap bulan oleh para penduduk pendatang. Jumlahnya bervariasi, beda-beda antar banjar, tapi tidak besar juga. Banjar Pak Made mengutip 30 ribu rupiah per kepala produktif per bulan. Artinya kalau dalam satu keluarga terdiri dari satu suami yang bekerja, satu istri yang merupakan ibu rumah tangga, dan dua anak yang masih sekolah misalnya, iuran yang harus dibayar keluarga itu hanya 30 ribu rupiah saja setiap bulannya.

“Mereka membayar, artinya mereka berhak mendapat pelayanan”, ungkap Pak Made. Termasuk di dalam pelayanan adalah perlindungan, tidak terkecuali perlindungan dari bentuk intoleransi yang ada kalanya dilakukan oknum anggota masyarakat. “Orang Bali aslipun kalau salah ya salah, orang Jawa kalau benar tapi diperlakukan tidak benar ya harus dibela, harus dilindungi”, tandasnya.

Pak Made menyatakan bahwa salah satu yang menjadi perhatiannya adalah soal pelaksanaan ibadah. “Orang Jawa tidak boleh mengganggu ibadah kami, tapi ya memang biasanya begitu, mana berani mereka, kan jumlah mereka cuma sedikit”, ungkapnya. Yang menjadi kekhawatirannya justru menjaga jangan sampai pelaksanaan ibadah para penduduk pendatang yang umumnya beragama non-Hindu dapat dilaksanakan dengan tenang dan nyaman.

Oh iya, sebutan “Orang Jawa” ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bersuku Jawa atau berasal dari Pulau Jawa. Di Bali, semua orang Indonesia yang bukan orang Bali disebut “Orang Jawa”. Entah sukunya Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Ambon, Papua, dll.

Ungkapan itu yang membuat pikiran saya melayang ke kasus Munarman yang disebut pernah menuding ada orang Islam yang mau beribadah “ditimpukin” pecalang. Toleransi di Bali ini luar biasa Bung! Apa yang anda sebut itu tidak masuk akal sama sekali. Nyepi yang juga disebut Munarman, dimana seluruh Pulau Bali “dimatikan” bukanlah bentuk intoleransi masyarakat Bali. Sebaliknya, itu bentuk toleransi penduduk pendatang di Bali. Apa saat Nyepi orang non-Hindu harus bertapaberata? Kan tidak. Bisa tetap beraktivitas, hanya tidak keluar rumah. Tapi kalau kebetulan Nyepi jatuh pada hari Jumat dimana Umat Islam harus Shalat Jumat di mesjid, pecalang justru memfasilitas.

Toleransi di Bali itu indah, nggak kayak “cocot” Munarman.