Yang namanya Shinkanzen Indonesia memang tidak ada, mungkin malah kita tidak akan pernah melihan kereta super-cepat ini melesat di tanah air. Impian yang sepertinya sudah di depan mata, tiba-tiba lenyap seketika karena kekonyolan para petinggi negeri ini. Siapa lagi kalau bukan Presiden Jokowi dan para mentrinya, karena meskipun di era Presiden SBY lalu wacana kereta cepat ini sudah ada, tetapi memang tetap dibiarkan hanya sebatas wacana tanpa ada tanda-tanda keseriusan untuk mewujudkannya.

Baru-baru ini pejabat-pejabat itu membuat impian kereta cepat ini seolah-olah bukan lagi sekedar kembang tidur. Rute sudah ditentukan, berbagai rencana digelar, bahkan negara-negara yang memiliki teknologi tersebut juga sudah diminta untuk membuat analisa dan mengajukan proposal. Impian semakin memuncak saat dikatakan bahwa pada tanggal tertentu Presiden Jokowi akan menentukan siapa yang memenangkan tender pembangunan kereta cepat pertama di Indonesia yang akan melayani rute Jakarta – Bandung. Masing-masing negara bahkan sudah ancang-ancang, begitu diputuskan mereka akan segera bergerak dan kereta itu akan mulai beroperasi 3 tahun mendatang, keren bangat.

Sayangnya impian itu kandas saat Presiden Jokowi, alih-alih memilih salah satu proposal, justru memutuskan untuk membatalkan proyek tersebut. Meskipun tidak saklek menyatakan “batal”, tapi dari sekian panjang kalimat yang berputar-putar baik dari Presiden Jokowi sendiri maupun mentri-mentrinya yang terkait, secara tidak langsung sih artinya batal, orang yang sedikit waraspun sudah bisa mengerti.

Saya sendiri tidak terlalu mempermasalahkan pertimbangannya. Saya kira pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan Presiden Jokowi sangat masuk akal. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, saya kira memang yang terbaik adalah membatalkan. Ya entahlah buntutnya apapun. Buntut yang megatakan bahwa akan tetap dilaksanakan tetapi dengan skema B-toB murni, atau buntut lain yang mengatakan alih-alih kereta cepat sekelas Shinkanzen, akan diganti dengan kereta berkecepatan menengah saja. Ada juga buntut lain yang megatakan bukan lagi Jakarta – Bandung tetapi Jakarta – Surabaya.

Yang saya sayangkan adalah pembatalannya. Bukankah dari awal kita sangat-sangat tahu bagaimana keuangan negeri ini demikian terbatas sehingga membiayai proyek mercu suar seperti itu lebih merupakan pemborosan? Kalau skema yang ditawarkan kedua negara tersebut tetap melibatkan pendanaan negara, tentu karena ada sinyal bahwa itu memungkinkan. Coba kalau dari awal sebelum mereka melakukan analisa, batasan tersebut sudah terlebih dahulu ditentukan. Cerita lainnya, jarak Jakarta – Bandung itu dari dulu ya segitu-itu. kalau dengan jarak segitu kereta tidak bisa mencapai kecepatan puncak, apa iya baru ketahuan sekarang?

Nggak heran kalau kemudian banyak yang menuduh kalau pemerintahan sekarang itu kebanyakan pencitraannya. Karena ya begini-ini modelnya. Mengiming-imingkan rencana-rencana hebat yang baru kemudian dikatakan tidak cukup realistis sehingga harus dibatalkan. Apakah kemudian rencana-rencana lain begitu juga? Tol laut? Tol Sumatera? Jaringan kereta api luar Jawa? Pembangkit 35,000 MW? Jangan-jangan malah soal janji pemberantasan korupsi juga begitu nasibnya.

Sekali lagi saya menyoroti persoalan “janji surga” disini. Membuat kita terbuai dengan tumpukan rencana-rencana besar yang pada akhirnya kandas karena sebetulnya rencana itu memang tidak realistis. Kemudian lagi-lagi pertanyaannya apakah pemimpin-pemimpin kita itu terlalu naif, mengira rencana-rencana itu bisa dilaksanakan ternyata tidak, atau memang dari awal mereka sadar itu tidak bisa dilaksanakan tetapi sengaja dihembuskan untuk … hmmm … ya yang satu itu lagi, pencitraan.

Pribadi bagi saya nggak penting-penting amat itu shinkansen Indonesia itu. Soal praktis ya kapan juga sih saya mau naik itu kereta. Gak banyak apa malah nggak ada sama sekali urusan saya bepergian antara Bandung – Jakarta. Kalaupun ada, ada banyak pilihan moda transportasi lain. Kalau soal kecepatan, ujung-ujungnya sama saja seperti pesawat. Naik pesawatnya sih cepet, keluar masuk antara kota dan Bandara-nya itu yang bikin urusan jadi panjang banget.

Akhirnya, apa juga bangganya jadi pengguna? Kalau seperti negara-negara Arab, jadi pengguna karena memang kaya sih mending. Lha kita jadi pengguna sementara anggaran dibiayai hutang, apa hebatnya. Bisa bikin, itu baru hebat!