Agak larut malam, kebetulan janjian ketemuan sama orang di seputaran Kuta. Biar dia gak pusing nyari disepakatilah bertemu di seputaran “patung kuda” di perempatan Jalan Raya Tuban dan jalan raya yang menuju airport. Tempat ini memang rame pada malam hari, bercampur antara penduduk dan wisatawan yang mencari tempat nongkrong murmer. Maklum masih kawasan Kuta, ada banyak hotel dan fasilitas wisatawan lain di kawasan ini, termasuk toko oleh-oleh Krisna yang buka 24 jam yang berseberangan dengan Krisna Wisata Kuliner yang merupakan magnet wisata baru di kawasan ini.
Persoalannya tempat parkir merupakan komoditas langka di kawasan ini. Sambil mengumpat sendiri, beberapa kali saya berputar mencari celah yang bisa disisipi diantara jejeran motor, tukang jagung bakar, bakso, dan jajanan khas tongkrongan malam lainnya. Akhirnya saya melihat sebuah mobil yang tadinya parkir tiba-tiba menyalakan lampu dan mulai bergerak. Yes! Akhirnya dapat juga. Meskipun saat itu saya berada di lajur berseberangan, saya langsung memotong jalur dan setelah beberapa kali mundur maju saya bisa mendapatkan PW (posisi uwenak).
Matikan lampu, AC, turunkan kaca sedikit, turunkan kaca, saya mulai mencari PW lain, bukan mobil, tapi badan saya sendiri, siap-siap menunggu. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping mobil saya, menurunkan kaca kiri. “Pak, mau lama parkir disini?” tanya sang sopir berkepala botak sambil tetap menyalakan mesin dan lampu mobilnya. “Nggak tau, 10 menit, 20 menit, setengah jam”, jawab saya sekenanya. Mana saya tau berapa lama saya mesti nunggu. “Orang aneh …” batin saya sambil mulai menutup mata.
“Pak, ini saya biasa parkir mobil disitu”, teriak si botak membuyarkan kenyamanan saya yang sudah mulai menyandarkan kepala. Saya parkir di depan pura, dari mana ada orang goblok yang merasa punya hak jalanan di depan pura sebagai tempat parkir eksklusif buat mobil murahan berplat nomor pariwisatanya itu? “Lho, ini bukannya jalanan umum Pak?”, sahut saya.
“Saya biasa parkir disitu Pak”, sahutnya dengan nada meninggi. Merasa benar, emosi saya mulai terpancing juga. “Ya sudah kalo memang ini parkiran punya Bapak, saya pindah deh”, saya timpalin dengan nada nggak kalah nyebelin. “Nggak usah ngomong-ngomong soal jalan umum Pak, memang bukan jalanan saya, tapi saya biasa parkir disitu”, timpalnya dengan nada makin meninggi.
Saat saya buka pintu mobil berniat turun, beberapa orang menghampiri berusaha menengahi. Konon memang itu orang tinggal di dalam gang di belakang pura. Sopir itu memang biasa memarkir mobilnya disitu karena susah dibawa masuk ke dalem gang. Dia memang penduduk asli sana, jadi memang teman-temannya banyak. Mereka menyarankan saya untuk mengalah saja. “Mengalah pale lu peyang”, mulut comberan saya mulai nggak bisa ditahan. “Heh, saya bukan orang sini, gak punya rumah disini, gak kos disini, gak bakal ketemu lagi juga sama tuh orang, saya nggak takut”, umpat saya makin panjang.
Tapi beberapa saat kemudian kepala saya sedikit mendingin. Kasian tuh orang. Mungkin cape seharian narik. Mungkin seharian nongkrong nggak dapet turis buat ditarik. Mungkin dia ingin istirahat sejenak sambil tetap berharap dengan melihat mobilnya terparkir di luar akan ada orang yang tertarik menggunakan jasanya. Saya naik ke mobil, menghidupkan mesin, dan berlalu meninggalkan tempat itu, mencari tempat parkir lain.
Saya berusaha memaklumi. Tapi ya tetep saja sih. Saya menyayangkan sikap arogan yang sok jagoan merasa berkuasa dan mengklaim hak orang lain yang dia inginkan. Jelas itu hak saya, karena itu jalan umum dan saya sudah lebih dulu parkir disitu. Dan dia dengan kepongahannya merasa berhak mengklaim dengan cara yang jauh dari sopan. Kalau saja dia bicara baik-baik mungkin saya juga nggak akan memakinya. Tapi ya itulah, sebagian orang memang terlalu tolol untuk dapat menanggalkan kepongahan.
Sambil memutar lagi mencari celah lain, saya masih berfikir. Apa iya dia bisa menyenangkan pemakai jasanya dengan kelakuan seperti itu. Tapi saya memutar pikiran saya ke arah lain. Mungkin dia sudah seharian tersiksa. Orang sepongah dia memaksakan diri untuk menjadi pelayan orang-orang yang memakai jasanya dengan imbalan rupiah tentu sangat tertekan dia. Kalau benar begitu, sungguh menyedihkan si botak itu. Dia sopan pada uang, bukan pada sesama manusia.
Leave A Comment