Saya sudah lama mengagumi sosok Bob Sadino, seorang pengusaha sukses yang konon memulai usahanya dari sangat-sangat kecil. Saya nggak bilang dari nol karena pada dasarnya tidak ada yang memulai usaha dari nol. Kalaupun mungkin sama sekali tidak ada uang yang ditanam sebagai modal, setidaknya ada otak dan tenaga, yang konon justru lebih bernilai dari sekedar uang. Jadi itulah, setidaknya dari sedikit yang saya tahu, konon Oom Bob ini memulai usahanya dari berjalan kaki dari pintu ke pintu menjajakan telur yang dihasilkan ayam peliharaannya.

Baru-baru ini saat menghabiskan waktu di Gramedia saya menemukan biografinya yang berjudul “Belajar Goblok dari Bob Sadino”. Tentunya saya tidak berfikir dua kali untuk menyambarnya, memasukkan ke dalam tas belanja, dan membawanya pulang … setelah membayarnya terlebih dahulu lah pastinya.

Seperti umumnya sebuah biografi, buku yang relatif tipis sebagai biografi tokoh sebesar Bob Sadino sih, buku ini dibuka dengan cerita mengenai latar belakang pribadi. Dari kapan dan dimana lahir, pendidikan, riwayat karir, pernikahan, keluarga, dan sebagainya. Tapi tentu sebagai icon pengusaha yang sering dijadikan patron – tokoh yang dikagumi, diidolakan, bahkan diikuti – oleh banyak pegusaha (atau setidaknya mereka yang tertarik menjadi pengusaha) tentu yang paling menarik adalah kisah bagaimana Oom Bob terjun ke dalam bisnis, mengawali, membesarkan, sampai menikmati hasilnya.

Saya sengaja membuang kata “goblok” saat memilih judul di atas. Bukunya sendiri memang bukan saja pada judul tetapi isinyapun sarat dengan kata yang satu itu. Goblok disana sini. Tapi alasan saya membuang kata yang satu itu karena saya sama sekali tidak menemukan kegoblokan dalam kisah dan jalan pikiran Bob Sadino.

Logis dan realistis, bagi saya bukan hanya jauh dari goblok tetapi justru sebaliknya. Memang bukan cuma out of the box tapi sepertinya Oom Bob sama sekali tidak mengenal adanya box. Tapi justru itulah yang kita butuhkan. Kalau kita melihat banyak tokoh lain yang sekelas bahkan mungkin lebih, meskipun mungkin tidak diungkapkan secara eksplisit, mereka memiliki pola berfikir dan pola bertindak yang setali tiga uang. Contoh kecil saja, Baik Bob Sadino maupun Steve Jobs sama-sama berfikir “menciptakan pasar” alih-alih berusaha mengidentifikasi pasar, memahami kebutuhannya, kemudian melayani kebutuhan tersebut.

Nah kalau dengan pola pikir seperti itu Steve Jobs dikategorikan orang sebagai jenius, apa iya kita mau ikut-ikutan mengatakan pola yang sama yang ada di kepala Bob Sadino sebagai goblok?

Ada banyak hal menarik dari pikiran Bob Sadino di buku itu. Tapi yang paling menarik buat saya adalah hidup tanpa harapan, tanpa tujuan, tanpa rencana. Lagi-lagi, bukan hanya out of the box, bukan hanya purple cow, karena pikiran itu justru bertolak belakang dengan konsep yang dimiliki, diyakini, dan diajarkan hampir semua orang. Apalagi saat bicara bisnis, mana ada teori manajemen yang tidak mengajarkan pentingnya harapan, tujuan, dan rencana.

Saya sangat menjiwai pikiran itu. Pikiran mengenai hidup tanpa harapan, tanpa tujuan, tanpa rencana. Saya sangat yakin kalau filosofi yang sama juga bisa diterapkan dalam bisnis. Sederana saja alasannya. Bukankah bisnis itu sendiri merupakan bagian kecil dari kehidupan kita? Kalau soal pilihan baik buruk atau benar salah kan memang tidak ada patokannya lah. Baik menurut seseorang belum tentu baik buat orang lain. Toh pada akhirnya hidup ini hidup kita sendiri. Bagaimana kita menjalaninya, selama tidak melenceng dari norma dan agama ya sah-sah saja.

Tadinya saya malu punya pikiran seperti itu, punya keyakinan seperti itu, punya filosofi hidup seperti itu. Setidaknya melalui bukunya Oom Bob menunjukkan bahwa ada orang, tokoh sebesar dan sesukses beliau, punya pikiran yang sama. Jadi saya nggak goblok-goblok amat dong … amat gobok mungkin.