Beberapa pekan lalu kita dihibur dengan tontonan menghebohkan ala para wakil rakyat kita di Senayan sana. Adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) – DPR RI yang bertugas menjaga keluhuran perilaku para anggota dewan yang (seharusnya) terhormat ini diuji dengan kasus yang tiba-tiba menjadi demikian terkenal dengan sebutan kasus #PapaMintaSaham.
Tidak terlalu mengherankan kalau kasus ini menjadi demikan menghebohkan. Yang terlibat bukan orang sembarangan. Kita mungkin sudah terbiasa mendengar sejumlah wakil rakyat tersandung kasus korupsi. Tapi kali ini kasus beraroma korupsi ini bukan hanya melibatkan wakil rakyat biasa, tapi Ketua DPR-RI saat itu, Setya Novanto. Selain melibatkan “orang besar”, kalau sampai kongkalingkong yang mereka atur ini benar-benar terjadi, jumlah uang yang akan terlibat juga luar biasa dahsyat.
Tak pelak semua mata menyorot apa yang terjadi di Senayan saat itu. Sidang demi sidang MKD yang digelar menyedot perhatian publik. Tarik menarik antar para anggota MKD yang demikian merasa terhormatnya sehingga dengan sengaja mengharuskan para terpanggil berbicara dengan panggilan “yang mulia” sangat jelas memperlihatkan bahwa banyak diantara mereka yang tidak berfikir, berbicara, dan bertindak atas dirinya sendiri atau rakyat yang diwakilinya tetapi kepentingan politik partai masing-masing.
Dengan kesalahan yang demikian jelas, para anggota MKD yang datang dari Partai Golkar – partai yang mendudukkan sosok Setya Novanto pada kursi strategis ketua DPR dan partai-partai lain yang berkoalisi dengan Partai Golkar – mati-matian membela meskipun dengan alasan yang bahkan dengan nalar awam pun sudah terasa sangat-sangat ngawur. Tapi apakah mereka yang berposisi berlawanan, mereka yang datang dari kelompok koalisi KIH, benar-benar menyuarakan nurani atau mengusung kepentingan politik untuk menjatuhkan Setya Novanto dari jabatan terhormat yang disandangnya sekaligus mencoreng muka partai dan koalisinya? Hanya Tuhan dan mereka sendirilah yang tahu.
Tapi sepertinya menjelang proses yang berdarah-darah itu sampai pada puncaknya, situasi justru berbalik. Mereka yang datang dari koalisi yang gigih membela Setya Novanto menyatakan bahwa sosok yang tadinya dibela mati-matian itu melakukan pelanggaran berat. Sementara mereka yang datang dari kubu berseberangan justru kompak menyatakan bahwa Setya Novanto hanya melakukan pelanggaran sedang. Aneh bin ajaib sudah pasti, dan yang lebih pasti lagi, di balik semua yang aneh bin ajaib tersembunyi tujuan tersendiri.
Begitulah akhirnya terungkap, ternyata dengan dinyatakan melakukan pelanggaran berat, proses harus dilanjutkan dengan pembentukan panel, proses panjang yang bertele-tele ini masih memberi peluang pada Setya Novanto untuk berkelit. Sangat ironis bukan? Demi kesempatan berkelit mereka memilih menenggelamkan muka sendiri ke dalam kubangan kotoran. Tapi begitulah politik, dari dulu kita memang selalu dicekoki dengan dogma bahwa politik itu kotor. Kotor tapi bergelimang uang dan kekuasaan.
Sementara dengan pelanggaran sedang Setya Novanto akan bisa dilengserkan dari jabatannya begitu keputusan diambil. Jadi sangat jelas bagi mereka bukan soal berat ringannya pelanggaran, strategi mereka sangat pendek, menurunkan Setya Novanto dari jabatannya secepat-cepatnya. Memang ada sisi lainnya, dengan begitu tidak ada celah untuk Setya Novanto meloloskan diri. Hanya saja saya sendiri melihat ini langkah sangat pragmatis yang justru melawan nurani, karena kesalahannya jelas-jelas sangat berat dan dari pernyataan-pernyataanya sendiri, mereka sangat tahu itu.
Partai Golkar dan kawan-kawan koalisinya kemudian lagi-lagi menegaskan filosofi pragmatis yang dianutnya. Dengan keputusan pelanggaran ringan, Setya Novanto hanya bisa dilengserkan dari jabatan Ketua DPR tapi tidak bisa dicabut keanggotannya. Tanpa berfikir panjang mereka mengambil manuver, tukar posisi antara Ketua Fraksi Golkar di DPR dan Ketua DPR RI. Dengan demikian Setya Novanto masih tetap bercokol di rumah para wakil rakyat yang (konon) terhormat itu dengan kekuasaan yang masih cukup strategis.
Saya hanya membayangkan betapa besarnya posisi tawar Setya Novanto di internal Partai Golkar dan koalisi pendukungnya sehingga saat dituduh bersalah mereka mati-matian mendukungnya dan saat benar-benar dinyatakan bersalah masih tetap dimanjakan dengan jabatan strategis.
Leave A Comment