Setelah dunia maya diramaikan dengan berita dinobatkannya maskapai penerbangan Lion Air sebagai maskapai penerbangan paling berbahaya di dunia, seolah-olah mengkonfirmasi, beberapa hari kemudian kembali ramai diberitakan cerita seorang penumpang yang mengalami insiden penerbangan yang menurutnya sempat mengancam nyawanya dan tentunya juga semua penumpang lain yang berada di dalam pesawat tersebut.

Seeprti diberitakan detik.com dalam beritanya berjudul Curhat Penumpang Lion Air di Facebook: Delay dan Pintu Tak Menutup Rapat, penumpang bernama Kartini Kongsyahyu berada pada penerbangan Lion Air yang berangkat dari Denpasar menuju Makassar pada malam hari tanggal 27 Desember 2015 yang lalu. Setelah menunggu dalam delay berkepanjangan yang tidak jelas apa penyebabnya apalagi kapan akan berakhirnya – khas Lion Air – akhirnya penumpang naik pesawat dan terbang.

Disinilah kemudian terjadi insiden yang justru lebih menegangkan dari sekedar delay. Kartini menuturkan bahwa setelah lepas landas terdengar bunyi gemuruh sangat keras yang digambarkannya seperti 10 vacuum cleaner dihidupkan bersamaan. Pesawat sedikit berguncang yang dikonfirmasinya sendiri mungkin akibat awan karena cuaca di luar pesawat memang berawan. Lampu diluar pesawat terus berkedip yang menurutnya mungkin berarti tanda SOS. Kemudian pilot mengumumkan bahwa pesawat akan kembali ke landasan.

Kehebohan belum berakhir, karena setelah turun dari pesawat, Kartini melihat mobil SAR sudah stand-by. Semakin mengkonfirmasi besarnya bahaya yang baru saja dihadapi para penumpang di dalam pesawat itu. Disebutkan bahwa kemudian diketahui bahwa insiden tersebut terjadi akibat pintu yang tidak tertutup rapat. Mengakumuasi kengerian yang dialaminya Kartini menulis “Bisa anda bayangkan kalau tekanan udara kuat maka bisa membuat kabin pesawat hancur seketika, semua penumpang akan beterbangan dilangit malam Bali !!!

Pada berita lain juga disebut seorang penumpang lain bahwa dalam kondisi tidak normal tersebut pesawat terus menanjak. Baru kemudian berputar dan kembali turun dan mendarat.

(1) Pertama tentu saya prihatin dengan pengalaman Kartini dan penumpang lain di dalam pesawat tersebut. Meskipun demikian saya justru berpendapat bahwa ungkapannya terlalu lebay. Kejadian biasa kalau dia benar-benar seorang frequent flyer – dia menyebut bahwa dia sering terbang – yang tidak berbahaya seperti yang dibayangkannya. Baik pilot maupun bandara sepertinya sudah melakukan prosedur yang benar untuk menghindari bahaya seperti yang dibayangkan penumpang tersebut sehingga saya sendiri justru melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang layak dipuji alih-alih dicaci.

(2) Pesawat bergerak dalam kecepatan yang sangat tinggi, dia tidak akan take-off dalam kecepatan di bawah 250km/jam, sementara kecepatan maksimalnya saat “cruising” bisa di atas 800km/jam. Jadi kalau benar pintu tidak tertutup rapat, sangat wajar kalau angin akan membuat suara bising yang sangat keras.

(3) Pilot sudah mengambil tindakan yang benar, dengan memutuskan untuk putar balik kembali ke landasan. Hanya saja memang pesawat bukanlah angkot yang bisa jalan dan berhenti semaunya. Perlu ketinggian dan posisi tertentu untuk bisa mendarat kembali dengan aman. Jadi kalau pilot memaksa naik terus sampai titik tertentu sebelum berputar, itu justru dilakukannya demi keselamatan.

(4) Seperti yang disampaikan Kartini sendiri, guncangan kecil bisa terjadi karena awan. Lampu berkedip-kedip di luar, mungkin lampu yang biasa berkedip saat take off dan landing, biasanya tidak kelihatan dari dalam. Tapi kadang-kadang dalam kondisi berawan sinarnya terpantul sehingga terlihat dari dalam.

(5) Kalau setelah mendarat penumpang diminta tetap di dalam selama pesawat diperbaiki, mungkin sedang diperiksa dulu, kalau pintu yang tidak tertutup rapat itu hanya akibat salah menutup, tentu tinggal dibuka dan ditutup lagi lalu kembali terbang. Hanya mungkin penumpang sudah terlalu panik sehingga memaksa turun.

(6) SAR yang stand-by di landasan seharusnya justru dilihat secara positif juga. Bahkan untuk insiden kecil seperti itupun fihak bandara dan semua perangkat terkait mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk. Alih-alih merasa terancam, justru seharusnya merasa terlindungi.

Sembari sekali lagi turut prihatin atas insiden tersebut, soal takut dan tegang kan tidak bisa disalahkan dengan logika, saya pribadi justru bermaksud menyampaikan pujian untuk Lion Lair khususnya pilot yang bertugas saat itu, dan semua fihak yang bersiaga di landasan. Kritik saya untuk Lion Air, dalam kondisi seperti itu, meskipun mungkin secara aturan bukan kewajiban, alangkah mulianya jika para penumpang disediakan akomodasi, terserah apakah besoknya mereka akan terbang dengan penerbangan Lion Air berikut atau memilih meminta refund dan terbang dengan maskapai lain.

Itu soal insidennya lho ya … kalo soal delay, saya sendiripun yang sudah sering menjadi korban dan tetap saja sering memilih terbang dengan Lion Air sudah sampai pada titik pikiran “Kalau nggak delay ya bukan Lion Air namanya.”