Kasus konvoy para penunggang Harley-Davidson yang dihentikan seseorang bersepeda ontel yang ramai menjadi pembicaraan di kalangan netizen membawa fikiran saya melihat dari sisi lain soal kegemaran sebagian orang berdompet tebal untuk ber-Harley. Pastilah berkantong tebal toh, kan harganya juga nggak murah. Konon perlu 4-5 unit mobil murah berkelas LCGC semacam Agya, Ayla, Wagon R, dll. untuk menebus satu motor kebanggaan negeri Paman Sam ini. Kalau ditebusnya dengan sepeda motor rakyat jelata seperti Yamaha Mio atau Honda Beat, entah perlu berapa, 50 biji kali.

Sebetulnya sih hegemoni kemapanan yang kemudian dikemas dengan apik dalam balutan “hobi” ini bukan hanya domain para pemilik Harley. Jenis-jenis kendaraan lain baik roda 2 atau roda 4 juga ya sama aja. Motor-motor besar berbeda merk seperti Ducati misalnya. Atau mobil-mobil sport mewah seperti Ferrari dan Lamborghini. Terus terang saya tidak melihat ber-Harley (atau ber-Ducati, ber-Ferrari, dll.) sebagai hobi, karena menurut saya itu tidak memenuhi syarat untuk dikatakan sebagai hobi.

Hobi itu haruslah mengerjakan sesuatu. Hobi menyanyi, hobi melukis, hobi bermain sepak bola, hobi balapan, dll. Nah kalau ber-Harley, aktivitas yang dilakukan han sebetulnya melakukan perjalanan dengan sepeda motor. Tapi kan mereka yang punya Harley itu juga nggak mau toh kalo mengendarai motornya yang murahan. Jadi buat mereka titiknya bukan di bermotornya tapi di Harley-nya. Jadi sebetulnya hobi apa hedonisme? Karena titiknya bukan di aktivitas mengendarai sepeda motor tapi justru di sepeda motornya yang berharga aduhai.

Apa bisa dikategorikan ke dalam hobi otomotif? Entahlah. Dalam pikiran saya, namanya hobi otomotif itu juga melakukan sesuatu yang di atas rata-rata. Memodifikasi sehingga tampilannya menjadi lebih keren, menjadi lebih cepat, atau menjadi lebih tangguh di lintasan off-road misalnya. Melakukan sesuatu yang kemudian bisa kita banggakan, itu intinya. Kalo ber-Harley, ber-Ferrari, dll. kan bukan soal kita melakukan sesuatu yang di atas rata-rata, tapi soal memiliki sesuatu yang (harganya) di atas rata-rata. Jadi sebetulnya hobi apa hedonisme?

Hobi itu haruslah dilakukan dengan passion. Kita ingin terus menerus melakukannya. Kita ingin menjadi lebih baik. Mereka yang hobi memotret alias fotografi misalnya, dia selalu berusaha supaya hasil jepretannya semakin berkualitas. Mereka yang hobi balapan selalu berusaha lebih kencang dan mengukir kemenangan, entah menang dari lawan dalam perlombaan atau melawan catatan waktu sendiri. Nah kalau ber-Harley ini, apanya yang lebih baik? Bisa lebih kencang? Mana mungkin lha kemana-mana ngekor kawalan polisi. Satu-satunya peningkatan ya versi motor yang lebih mahal, atau mungkin jumlah motornya yang lebih banyak. Jadi sebetulnya hobi apa hedonisme?

Tapi pada akhirnya sih saya berbalik ngaca, menilik diri sendiri. Sebetulnya kepala saya bereaksi seperti ini apa bener-bener pandangan yang tulus? Jangan-jangan saya cuma sekedar “nyinyir” karena nggak kebeli Harley dan karena itu menjadi seolah-olah anti kemapanan. Ada ungkapan jalanan yang mengatakan “sirik tanda tak mampu”. Entahlah. Tapi kan ini blog saya sendiri, tempat mencurahkan pikiran saya sendiri. Bebas dong. Kalo ada yang kesentil, ya salah sendiri baca.