Kita semua tentunya tahu bahwa jika secara keseluruhan penduduk Indonesia itu mayoritas beragama Islam, di Bali, pulau yang juga merupakan satu propinsi tersendiri, mayoritas penduduknya beragama Hindu. Beberapa waktu terakhir ini ada isu yang cukup menarik perhatian publik khususnya di Bali. Kegaduhan ini dipicu dari munculnya iklan lowongan kerja yang mencantumkan “Non-Hindu” sebagai salah satu dari sekian banyak aspek yang dipersyaratkan.

Reaksi keras langsung bermunculan. Tidak hanya dari kalangan netizen namun juga dari “jalur resmi”, pejabat pemerintah dan para wakil rakyat. Tentunya reaksi keras ini utamanya muncul dari kalangan yang beragama Hindu, wajar, karena kalangan inilah yang secara langsung menjadi korban. Meskipun demikian sebenarnya banyak juga kalangan non-Hindu yang juga bereaksi searah, karena bagaimanapun, di negara dengan pluralitas sangat tinggi seperti Indonesia, intoleransi memang sama sekali tidak boleh mendapat toleransi.

Meskipun demikian, saya tidak serta-merta melihat iklan-iklan lowongan pekerjaan yang mempersyaratkan non-Hindu sebagai bentuk intoleransi. Sering kali memang ada alasan-alasan operasional yang membuat hal seperti ini menjadi masuk akal. Malah alasannya bisa jadi bukan intoleransi tetapi justru sebagai cara untuk mengakomodasi pluralitas.

Tentunya ini kasus-kasus yang positif, karena kita juga tidak bisa memungkiri bahwa ada kasus-kasus dimana mempersyaratkan hal-hal yang berbau SARA ini justru karena memang didasari pikiran yang picik.

Saya melihat ke kasus saya sendiri. Sering kali hidup di lingkungan yang membuat saya menjadi “minoritas” membuat intoleransi sama sekali tidak ada di dalam pikiran saja. Membedakan orang karena agama yang dianut, sama sekali tidak ada di dalam kamus saya. Tetapi memang ada waktunya saya mempertimbangkan faktor agama saat saya menerima karyawan baru. Tapi alasannya sama sekali bukan soal intoleransi, tetapi lebih pada alasan operasional, untuk memastikan perusahaan beroperasi dengan lebih efektif.

Contoh kasus saja, untuk posisi yang memerlukan profil tertentu dan fungsinya harus selalu ada terus menerus, tidak bisa terhenti dan fungsinya tidak bisa digantikan oleh orang dengan profil yang berbeda, saya cenderung mengatur supaya ada beberapa orang dengan agama yang berbeda. Alasannya sederhana, supaya hari rayanya beda-beda, jadi tidak ada kasus dimana fungsi tersebut kosong karena semua mengambil libur atau cuti pada saat yang bersamaan, misalnya Idul Fitri semua, Galungan semua, Natal semua, dll.

Saya sangat sadar bahwa perusahaan berhak menolak pengajuan cuti karyawan. Kita bisa melihat, PT KAI misalnya, tidak ada satupun karyawannya yang boleh cuti pada saat Idul Fitri, padahal mayoritas karyawannya beragama Islam. By-the-way, kalau karyawan PT KAI mayoritas beragama Islam, bukan soal intoleransi lho ya sepertinya, murni karena memang penduduk Indonesia secara keseluruhan juga beragama Islam.

Tapi sebagai pimpinan saya juga sangat sadar bahwa sedikit banyak ada kekecewaan, kesedihan, kalau di saat hari besar dimana seluruh keluarganya berkumpul, karyawan saya terpaksa masuk kerja gara-gara cutinya ditolak perusahaan. Meskipun digilir secara adil, misalnya saja yang tahun ini libur tahun depan tidak dan sebaliknya, tentu kekecewaan atau setidaknya kesedihan itu tetap ada. Faktor psikologis seperti ini tentulah sedikit banyak, disadari atau tidak, berpengaruh pada motivasi kerja mereka. Kalau ini bisa dihindari dengan pluralitas, tentu akan lebih baik.

Dalam rangka pluralitas itu tadi, kalau untuk satu fungsi yang karakternya seperti saya sebut tadi, saya sudah punya karyawan yang beragama Hindu, tentu saat saya mencari karyawan yang kedua, saya akan cenderung memilih yang non-Hindu. Bukan soal intoleransi, karena kalau dibalik, saya sudah punya satu karyawan yang beragama Islam misalnya, saat membuka lowongan untuk karyawan yang kedua, saya akan cenderung memilih yang non-Islam.

Kalau angkanya diperbesar, saya kira logikanya tetap sama. Kalau kita sudah memiliki 100 karyawan Hindu dan hanya 10 karyawan non-Hindu untuk fungsi yang sama, saat saya membuka lowongan untuk 10-20 orang tambahan, tentunya kita akan cenderung memilih yang non-Hindu. Disini saya menggunakan kata “kita”, bukan lagi “saya”, karena saya belum pernah berada di posisi itu, maksudnya merekrut karyawan dalam jumlah besar sekaligus. Tapi logis kan? Kalau saya kemudian diberi Tuhan kelapangan rejeki, berada di posisi merekrut dalam jumlah besar, saya akan menggunakan logika itu.

Jadi kalau saya sendiri tidak serta merta melihat adanya lowongan kerja non-Hindu ini sebagai sesuatu yang negatif. Bisa saja negatif, tapi belum tentu. Bukan karena saya sendiri non-Hindu, tapi lebih pada alasan logis operasional itu tadi. Karena BISA SAJA NEGATIF, saya kira sebaiknya fihak berwenang, misalnya dinas yang terkait dengan ketenaga-kerjaan, melakukan investigasi untuk memastikan. Baru kalau memang terbukti alasannya karena sikap mental yang intoleran kita bukan hanya layak tapi wajib bereaksi negatif.