Salah satu menu yang termasuk di dalam jadwal giliran makan malam saya adalah lalapan. Sebetulnya ini istilah yang baru saya kenal setelah saya tinggal di Bali. Penjual makanan sejenis di kebanyakan kota di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan pecel lele. Setali tiga uang sih, penjaja lalapan di Bali dalam salah satu jajaran menunya selalu menawarkan pecel lele, sementara pedagang pecel lele di tanah Jawa sana selalu menata sajiannya dengan dilengkapi sayur-sayuran mentah alias lalapan.

Kecuali ada alasan tertentu yang sah menurut undang-undang, saya juga selalu membeli lalapan dari pedagang yang sama. Kalau sering membaca bukunya Hermawan Kartajaya atau kolomnya Rhenald Kasali, yang seperti ini istilah bisnisnya berlangganan.

Alasannya saya berlangganan sederhana saja, paling dekat dengan rumah, hanya 2-3 menit dengan sepeda motor yang pastinya bukan Kawasaki Ninja apalagi Ducati Monster. Tapi kalaupun pake Yamaha YZR M1-nya Jorge Lorenzo kayaknya sih nggak bakalan jadi lebih cepet. Alasan lainnya, karena tidak seperti kebanyakan tukang lalapan di Bali, dia menyediakan ikan laut. Kebetulan saya tidak makan daging. Saya makan ikan, tapi khusus lele dikecualikan. Kalau soal rasa sih lidah saya tidak terlalu sensitif, perasaan semua tukang lalapan rasanya sama saja.

Karena biasanya kedua pedagang yang melayani disitu cukup sibuk melayani para pembeli, saya tidak banyak chit-chat dengan mereka. Hanya basa-basi sekedarnya karena memang sering sekali bertemu. Kebetulan mereka menerapkan salah satu konsep WOW Marketing-nya Hermawan Kartajaya. Dia mengenali dan menyapa pelanggan-pelanggannya dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik yang membuat pembeli merasa diperlakukan secara personal, misalnya saja pada pelanggan yang biasa datang berdua dia tanya “Lho koq sendirian Pak?” atau dia tanya “Wuih motornya ganti ya?” pada pelanggan yang datang dengan sepeda motor yang tidak biasanya dia pakai.

Sampai suatu ketika saya datang dan suasana sangat sepi, tidak ada satupun pembeli lain saat saya duduk menunggu pesanan saya disiapkan. Kebetulan saat itu memang ada rainan alias hari yang disucikan Umat Hindu di Bali sehingga banyak orang pergi ke pura untuk bersembahyang dan mulailah mengalir obrolan mengenai keseharian mereka sebagai perantau yang mengadu nasib jauh dari kampung halaman sebagai pedagang lalapan.

Seperti hampir semua tukang lalapan di Bali, mereka berasal dari Jawa, tepatnya sebuah kota kecil di Jawa Timur bernama Ponorogo. Tinggal kost tidak jauh dari tempatnya berdagang sementara rombong, tenda, dan peralatan besar lainnya setiap hari harus dibongkar pasang karena mereka berjualan di halaman parkir toko yang di pagi sampai sore hari buka untuk berjualan bahan bangunan. Untungnya barang-barang yang besar dan berat itu tidak harus setiap hari mereka angkut karena si pemilik toko mengijikan mereka untuk menyimpannya di lahan kosong yang terletak tepat di belakang toko.

Alkisah, he he he, mereka membawa 50 potong ayam dan 50 ekor ikan lele setiap malam, belum termasuk hati ayam, ikan laut, tahu, tempe, dan terong. Sepertinya mereka benar-benar memberikan penekanan pada kedua mata dagangan utama itu, ayam dan lele. Lainnya mereka perhitungkan sebagai tambahan saja.

Uniknya setiap hari 50 potong ayam dan 50 ekor lele itu habis … harus habis. “Pokoknya kalau ayam dan lele belum habis kita belum tutup Pak”, tutur salah satu si penjual. Katanya dalam kondisi terburuk dagangan mereka habis pada pukul 3 dini hari. Mereka mulai berjualan jam 5 sore, artinya mereka berjualan selama sekitar 10 jam non-stop, tidak ada shift-shift-an. Betapa melelahkannya. Apalagi mereka bekerja di malam hari yang nota bene bukan jam kerja normal. Apalagi pekerjaan merekapun menuntut mereka aktif terus dan hampir selalu berdiri.

Terbayang beratnya.

Cerita berlanjut, setelah tutup sekitar jam 3 dini hari, mereka harus membongkar tenda dan menyimpan rapi di belakang toko sebelum mengangkut semua peralatan lainnya pulang ke kost. Baru sekitar jam 4 mereka bisa beristirahat, tidur, sampai jam 11 siang. Hari baru mereka dimulai dengan mandi dan melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian dll. Jam 12 mereka sudah berangkat berbelanja, pulang berbelanja langsung memasak menyiapkan dagangan. Jam 4 sore sudah mulai angkut-angkut ke tempat berjualan. Jam 5 sore begitu toko tutup rombong dan tenda diangkut ke depan dan di-setup untuk mulai berjualan.

Perjuangan yang luar biasa. Mereka beristirahat hanya dari jam 4 sampai jam 11 yang artinya hanya 7 jam. Selain itu, artinya selama 17 jam mereka terus bekerja. Hampir tanpa henti. Dan mereka melakukannya tanpa libur kecuali saat Hari Raya Nyepi karena pada hari itu seluruh Bali “diistirahatkan”.

Terbayang beratnya.

Tapi mereka pengusaha. Mereka bukan karyawan yang “disusui” orang lain. Bukan pula buruh yang menggantungkan kesejahteraanya pada orang lain dan kemudian protes dan demo saat merasa kesejahteraannya kurang diperhatikan. Mereka pejuang-pejuang sejati.

Pelajaran sederhana dari orang-orang sederhana.
Salah.
Pelajaran luar biasa dari orang-orang luar biasa.

Sering kali pelajaran tidak hanya datang dari orang-orang besar. Sebagai pengusaha mungkin orang menjadikan pengusaha-pengusaha besar sebagai rujukan. Steve Jobs, Bill Gates, Warren Buffet, Michael Bloomberg, atau Chairul Tanjung, Saniaga Uno, Tahir, dan jajaran pengusaha papan atas lainnya. Tapi ternyata di bawah sana, ada banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik.

Steve Jobs menekankan tentang “pure preserverance”, Chairul Tanjung mengajarkan kerja keras. Ilmu yang sama ditunjukan oleh kedua pedagang lalapan yang saya ceritakan tadi.