Meskipun sekarang saya hanya mengamati sambil lalu dari kejauhan saja, saya pernah sangat serius dengan dunia startup digital di Indonesia. Tidak hanya menginvestasikan waktu dan dana untuk mentransformasi ide menjadi sesuatu yang bisa dipergunakan pemakai di ranah maya, tetapi juga sudah memulai pembicaraan dengan beberapa venture capital di Indonesia yang nota bene rata-rata membawa dana dari luar yang cukup besar di saku mereka masing-masing.
Tetapi akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi menjalani rute tersebut. Ketertarikan saya untuk mengembangkan sesuatu yang kemudian bisa meledak setelah mendapatkan suntikan dana dari perusahaan venture capital sudah tidak ada lagi. Akhirnya bukan hanya menghentikan pembicaraan dengan prospek venture capital dan menarik diri dari hingar-bingar komunitas startup digital Indonesia, saya juga menghentikan pengembangan dan menarik eksistensi online dengan mematikan websitenya.
Ada banyak pertimbangan yang membuat saya tidak tertarik untuk menjadi the next Satya Witoelar, Andrew Darwis, Nadiem Makarim, dan sejumlah icon sukses startup digital Indonesia lainnya. Beberapa diantaranya yang saya ingat saya coba tuliskan di bawah ini.
Omong Kosong Dengan Inovasi
Semakin banyak saya bicara dengan eksekutif-eksekutif venture capital di Indonesia dan in kemudian terkonfirmasi dengan “wejangan” dari sejumlah teman yang sudah lebih sukses di jalur ini, konsep pengembangan digital startup di Indonesia tidak berbicara mengenai inovasi. Alih-alih mencari sesuatu yang inovatif, kita cenderung didorong untuk nggak mikir dan cukup jadi pembebek saja.
Dari sisi ide bisnis misalnya, alih-alih menggali dan mendorong kita mengembangkan sesuatu yang orisinil, mereka cenderung mendorong kita mencari sesuatu yang sukses dilaksanakan di luar negeri kemudian diimplementasikan di Indonesia. Kalau punya kreativitas lebih, paling banter cuma jadi sekedar bumbu, atau mencari jalan untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan selera pasar disini. Sebetulnya sih tidak sulit melihat contoh-contoh kasusnya. Yang cukup mencolok misalnya provider sistem pembayaran digital yang marak muncul mengikuti sukses PayPal.
Selain orisinalitas ide, orisinalitas konten juga setali tiga uang. Entah berapa kali saya disarankan untuk nyedot konten dari sumber-sumber yang sudah ada dengan alasan yang menurut saya sangat pragmatis dan jauh dari jiwa inovasi. “Kalo bikin konten sendiri, kelamaan!” Padahal mereka sendiri sependapat dengan saya waktu saya mengatakan pada mereka bahwa konten yang ada sekarang tidak cukup berkualitas dan justru itu yang ingin saya perbaiki untuk melayani kebutuhan audience.
Saya Nggak Mau Diatur Orang
Saya sangat faham bahwa venture capitalist selain memiliki backup dana juga membawa backup pengalaman. Sayangnya alih-alih dibawa untuk membantu kita mewujudkan gagasan kita seutuhnya, mereka justru lebih tertarik untuk mengarahkan sesuai dengan pengalamannya. Mungkin nggak ada yang salah dengan itu sih. Daripada kepentok-pentok, ada yang mengarahkan ke jalan yang sudah terbukti sukses kan mungkin memang lebih baik.
Tapi tunggu dulu. Kalau kita bicara inovasi, kita memang tidak bicara “well-travelled track”. Mari kita coba pakai analogi. Pendaki gunung selalu disarankan untuk mengikuti rute yang sudah ada, supaya aman dan tidak tersesat untuk mencapai tujuan, apalagi kalau bukan puncak. Tapi saat kita bicara inovasi, kita memang bicara sesuatu yang nyeleneh, orang bilangnya “out of the box”. Bukan hanya mencari rute baru yang lebih seru dan menantang, kita justru berfikir mencari gunung yang belum pernah didaki orang.
Mungkin bicara gunung sih nggak ada ya, tapi kalau bicara ide bisnis mestinya banyak. Karena saat kita bicara ide bisnis yang inovatif, mestinya kita bicara mendirikan gunug. Venture capitalist di Indonesia dan mungkin juga di luar sana cenderung mendorong kita untuk memastikan adanya kapasitas pasar yang cukup besar. Padahal banyak guru bisnis terkemuka justru menyarankan sesuatu yang sebaliknya, sesuatu yang benar-benar inovatif itu belum ada pasarnya, justru kita yang menciptakan pasar itu.
Quote terkenal dari Henry Ford yang kemudian sering didengungkan Steve Jobs sangat relevan disini. “If I had asked people what they wanted, they would have said faster horses.” Tapi alih-alih beternak kuda dan menciptakan jenis kuda yang memiliki tenaga, otot, dan tulang yang lebih kuat, Ford memilih untuk menciptakan mobil.
Kalau dibilang venture capital di Indonesia cenderung mengatur, pastinya mereka akan menolak. Tapi kalau kita tidak mengikuti saran mereka, mereka bilang tidak tertarik untuk berinvestasi. Jadi apa bedanya?
Soal atur-mengatur dan intervensi, bukan hanya di awal saja. Makin besar startup digital kita, potensi tekanan internal juga semakin besar. Semakin besar startup kita, semakin kita memerlukan dana luar untuk mengakselerasi perkembangan lebih cepat lagi, semakin banyak kita perlu suntikan dana segar. Konsekuensinya kita membutuhkan putaran pendanaan berikut, berikut, dan berikut, yang secara langsung juga membuat komposisi kepemilikan saham kita terus berkurang.
Alih-alih mengembangkan ide kita sendiri, lama-lama kita justru menjadi pelayan tujuan komersial mereka. Nggak heran kalau ada kasus dimana founder justru kehilangan kendali bahkan kehilangan kepemilikannya sama sekali. Founder yang kehilangan posisi CEO misalnya, bejibun jumlahnya.
Saya Nggak Mau Ikut Menjual Kapling Digital Tanah Air
Hidup di Bali membuat saya bukan hanya melihat perkembangan startup digital di Bali tetapi lebih menarik adalah dunia bisnis properti di Bali, dimana kebanyakan tanah yang memiliki potensi komersial yang tinggi sudah dikuasai investor, banyak diantaranya orang asing. Tanah kosong yang beachfront – berlokasi di tepi pantai – entah seterpencil apapun sudah hampir pasti sudah tidak lagi dimiliki orang Bali asli.
Orang asing memang secara hukum tidak diijinkan untuk memiliki properti berupa tanah di Indonesia, tentunya termasuk Bali. Tapi banyak orang Bali sendiri yang bersedia dibayar untuk menjadi “nominee”, dipinjam namanya saja, supaya orang asing bisa “memiliki” tanah di Bali. Namanya nyari duit mungkin sah-sah saja, tapi di mata saya mereka tidak lebih seperti pengkhianat.
Beberapa startup digital di Indonesia memang kemudian disuntik dana oleh perusahaan lokal. Tapi kebanyakan venture capital di Indonesia terafiliasi dengan sumber pendanaan dari luar. Di satu sisi kita bisa saja bicara “menarik dana asing dalam bentuk investasi di Indonesia”, bukankah itu yang memang sangat dibutuhkan negeri ini? Tapi dari sisi idealisme pribadi saya, situasi seperti itu membuat saya berada di posisi seperti si nominee tanah. Saya tidak cukup bodoh untuk menjadi agen asing menguasai langit digital tanah air.
Leave A Comment