Pengalaman tadi malam benar-benar menggelitik fikiran saya dan sampai sekarang masih tetap berputar-putar di kepala. Diundang seorang teman makan malam di rumahnya, ada beberapa orang asing juga yang ikut ngumpul. Nggak berbanyak sih, dihitung-hitung kami hanya ber-8, dan dua diantaranya orang asing. Dua-duanya fasih berbahasa Indonesia, meskipun memang dengan logat sengau khas bule. Meskipun semua yang berkumpul punya penguasaan Bahasa Inggris yang cukup fasih, hampir semua obrolan mengalir dalam Bahasa Indonesia.

Biasa saja sih, nggak ada yang istimewa. Seperti biasa kongkow bersama, kadang-kadang obrolan ditimbrungi bersama, kadang-kadang ada yang seolah mojok dalam perbincangan sekelompok kecil. Lama-lama saya perhatikan kalau kedua bule ini terlibat percakapan sendiri, maksudnya percakapan hanya antara mereka berdua saja, mereka juga menggunakan Bahasa Indonesia. Karena menarik, semakin lama semakin intens saya memperhatikan, dan memang benar, tidak ada sepatahpun kata dalam Bahasa Inggris yang mereka pergunakan, bahkan saat mereka benar-benar ngobrol berdua sekalipun.

Yang satu bule warga negara Italia sedangkan yang satu lagi asal Austria. Memang kedua-duanya merupakan negara Eropa yang tidak menggunakan Bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari, tapi bagaimanapun Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional pastilah mereka kuasai jauh lebih baik dari Bahasa Indonesia.

Situasi yang sama sangat bertolak belakang dari kelompok-kelompok diskusi yang dulu kerap saya ikuti. Dengan alasan ada beberapa yang lulusan luar negeri dan karenanya lebih merasa nyaman berbahasa Inggris, sering kali diskusi hampir seluruhnya dilakukan dalam Bahasa Inggris, ya kecuali bisik-bisik perbincangan antara saya dan beberapa teman yang sama-sama katrok dan ndeso karena lebih memilih bicara dalam Bahasa Indonesia. Kalau terlibat perbincangan pribadi dengan mereka yang “sok British” ya paling banter “saling pengertian”-lah, saya bicara Bahasa Indonesia dia bicara Bahasa Inggris.

Kalo sudah begitu biasanya saya teringat anak-anak mantan bos saya dulu. Kebetulan keluarga itu berkewarganegaraan Jerman dan tinggal di Bandung. Di rumahnya ada beberapa pembantu, salah satunya diijinkan untuk tinggal bersama anaknya yang kebetulan sebaya dengan anak-anak si bos. Itu bule kecil yang belum masuk TK dengan fasih berbicara dalam Bahasa Jerman, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Sunda, dan hebatnya dia tahu harus menggunakan bahasa yang mana untuk berbicara dengan siapa, termasuk saat dia bertemu dengan orang yang belum pernah dia temui sebelumnya.

Dihubungkan dengan situasi terakhir di tanah air, dimana banyak orang protes dengan mengatakan bahwa Bahasa Indonesia tidak dijadikan tuan rumah di negeri sendiri, saya justru bingung. Lebay memang, tapi menurut saya mereka yang membuat saya bingung ini lebih lebay. Kenapa harus ribut, kenapa harus protes? Siapa yang membuat Bahasa Indonesia seperti tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Orang asing cenderung menggunakan Bahasa Indonesia disini, semantara orang Indonesia sendiri menggunakan Bahasa Inggris, bahkan saat berbicara dengan sesama orang Indonesia.

Meskipun sering kali disindir katrok dan ndeso oleh beberapa orang karena kengototan saya bicara dalam Bahasa Indonesia, biasanya sih saya nggak terlalu peduli, cukup nyengir aja. Meskipun akhirnya saya memilih tidak lagi berpartisipasi, bukan karena saya minder diejekin, justru sebaliknya, karena saya akhirnya berfikir kalau mereka bukan level sayalah. Soal bahasa, sama seperti mereka, saya bertahun-tahun tinggal di Eropa, kerja lho bukan sekedar kuliah seperti mereka. Soal menguasai Bahasa Inggris, nggak malu-maluin lah. Apalagi selama lebih dari 20 tahun saya berkarir di tanah airpun selalu di lingkungan institusi asing. Tapi kalau kita orang Indonesia, saat kita berada di Indonesia, berbicara dengan orang Indonesia, lalu bicaranya pake Bahasa Inggris, apa bukan kelewatan namanya?