Saat berbagai macam masalah membuat rencana perluasan Bandara Ngurah Rai Bali terkatung-katung tanpa akhir di tengah pembicaraan demi pembicaraan yang dilakukan sejumlah pemangku kepentingan, kondisi pintu gerbang utama ke tempat wisata favorit dunia ini semakin parah. Lonjakan penumpang baik wisatawan asing maupun domestik yang terjadi menyusul maraknya layanan penerbangan berbiaya murah membuat kapasitas terminal penumpang semakin tidak memadai.

Situasi lebih buruk terjadi di terminal domestik. Sejak awal terminal domestik memang lebih kecil dan lebih sederhana dibandingkan dengan terminal internasional. Sementara itu dengan kombinasi antara semakin tingginya volume penumpang, semakin banyaknya rute penerbangan menuju Bali, dan semakin tingginya frekuensi penerbangan pada rute-rute yang sudah ada, peningkatan jumlah penumpang domestik sepertinya jauh lebih tajam dibandingkan penumpang internasional.

Untungnya kerja keras tanpa henti Wapres Jusuf Kalla di periode pemerintahan Presiden SBY yang pertama dan Meneg BUMN Dahlan Iskan di periode pemerintahan Presiden SBY yang kedua membuat penantian tiada akhir itu akhirnya berakhir juga.

Proyek renovasi Bandara Ngurah Rai Bali dilaksanakan dengan pola akselerasi sehingga selesai dengan relatif cepat. Tanpa terasa, bangunan megah yang mengkombinasikan tatanan arsitektur modern dan tradisional Bali tanpa melupakan penegasan Bali sebagai tempat tujuan wisata tropis selesai dibangun dan siap dioperasikan. Selain bangga, masyarakat Bali juga berbunga-bunga, karena akhirnya Bandara Ngurah Rai Bali menjadi lebih luas dan nyaman. Penumpang tidak lagi harus berdesak-desakan di tempat sempit yang sudah kusam dimakan usia.

Tapi mimpi tinggalah mimpi, karena begitu bangunan baru nan megah dengan atap berbentuk gelombang laut ini selesai, kemewahan ini ternyata difungsikan sebagai terminal internasional. Lalu kemana perginya para penumpang penerbangan domestik yang jelas-jelas lebih tinggi baik dari sisi frekuensi penerbangan maupun jumlah penumpangnya ini? Terminal domestik Bandara Ngurah Rai Bali menggunakan bekas terminal internasional yang lama.

Terminal internasional yang lama ini memang jauh lebih luas, mewah, dan nyaman dibandingkan terminal domestik yang lama. Tetapi memindahkan penumpang internasional yang jumlahnya lebih kecil ke terminal baru, sementara penumpang domestik yang jumlahnya lebih banyak menggunakan bekas terminal internasional, rasanya tidak masuk akal.

Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2014, Bandara Ngurah Rai Bali melayani 78.415 penerbangan domestik dan 51.372 penerbangan internasional, 8.991.341 penumpang penerbangan domestik dan 8.226. 513 penumpang penerbangan internasional. Jelas bahwa lalu-lintas domestik lebih tinggi dari internasional, baik dilihat dari jumlah penerbangan maupun jumlah penumpang.

Bukankah yang jumlahnya lebih banyak seharusnya justru mendapatkan tempat yang lebih luas?

Bisa jadi pandangan negatif saya mengenai kondisi ini punya latar belakang emosional, berharap mendapat kenyamanan dengan terminal baru yang lebih luas dan mewah, ternyata terpaksa gigit jari dan harus cukup puas hanya dengan lungsuran, bekas terminal internasional. Tapi meskipun mungkin benar ada faktor emosional, ada argumen yang sangat logis seperti yang saya sebut tadi, jumlah penumpang yang lebih tinggi tentu lebih pantas mendapat terminal yang lebih luas. Sangat sederhana, bukan?

Lalu mengapa pemerintah, mungkin tidak secara langsung tetapi melalui BUMN pengelola Bandara Ngurah Rai Bali, memilih untuk memperuntukkan terminal baru untuk penumpang internasional dan membiarkan penumpang domestik yang jumlahnya lebih tinggi menggunakan terminal bekas internasional?

Mereka-reka, mungkin alasannya salah satu dari ini:

  1. Mungkin kita terbelengu tradisi timur yang terbiasa menghormati tamu dengan memberi mereka prioritas lebih tinggi, fasilitas lebih baik, kenyamanan lebih sempurna. Saya ingat persis saat saya masih kecil, karena rumah kami kecil sehingga hanya ada kamar cukup untuk keluarga kami saja, saat ada kerabat berkunjung, para tamu dipersilahkan tidur di kamar sementara kami mengalah tidur di ruang tamu, ruang keluarga, memanfaatkan sofa atau sekedar tikar alakadarnya.
  2. Kebanggaan semu, keinginan untuk menunjukkan kemakmuran Indonesia dengan memperlihatkan bangunan yang mewah dan megah kepada orang-orang asing. Meskipun ada orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri, kebanyakan penerbangan internasional menuju Bali diisi orang asing, wisatawan mancanegara.
  3. Menghargai uang. Sebagai tempat wisata, perekonomian Bali sangat tergantung dengan pariwisata. Penerbangan asing datang membawa wisatawan asing, mereka bukan hanya membawa uang, tapi uang yang mereka bawa berbentuk dollar, bukan rupiah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa meskipun jumlah wisatawan domestik ke Bali jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan wisatawan asing, tetapi wisatawan asing dianggap lebih berduit.
  4. Tidak pandai menghargai diri sendiri, bangsa sendiri. Lupa bahwa meskipun pengelola Bandara Ngurah Rai Bali dan Bandara-Bandara lain adalah BUMN, tapi perusahaan jenis ini milik negara, artinya milik rakyat Indonesia, bukan orang asing. Sebagai pemilik, tentunya rakyat Indonesia lebih berhak mendapatkan fasilitas yang lebih baik.

Ada kemungkinan lain? Atau anda punya pandangan lain?