Letusan gunung di Lombok sepertinya tidak terlalu menghebohkan. Mungkin karena efek kebencanaannya terhadap kehidupan masyarakat tidak terlalu parah, beda dengan letusan Gunung Merapi lalu atau letusan Gunung Sinabung yang penanganan pengungsiannya saja masih tetap menjadi polemik sampai sekarang. Efek untuk kawasan lain yang berjarak cukup jauhpun tidak terlalu terasa. Tidak ada gempa besar atau hujan abu parah misalnya. Bahkan di Bali yang hanya terpisahkan selat sempit dari Lombok saja, meskipun konon terpapar abu vulkanik, tidak terasa ada perbedaan mencolok dari biasa. Maklum karena sedang kemarau, sehari-haripun sudah berdebu dimana-mana.
Beritanya agak simpang siur. Konon yang meletus bukan Gunung Rinjani, tapi anaknya yang bernama Gunung Barujari. Kubah yang relatif kecil – dibandingkan Gunung Rinjani-nya sendiri – ini beada di dalam kaldera besar di puncak Gunung Rinjani, bersama dengan danau indah yang sangat-sangat terkenal, Segara Anak. Tetapi kemudian ada penjelasan lain dari pejabat yang berkompeten. Katanya yang meletus adalah Gunung RUnjani. “Jadi, yang terjadi saat ini adalah Gunung Rinjani meletus melalui kerucut aktif di dalam kaldera yang disebut Gunung Barujari”, begitu kira-kira bunyi penjelasan singkat seperti dilansir media berita nasional Kompas.
Nah kembali ke soal kehebohan, mungkin karena efek kebencanaanya tidak terlalu parah, memang tidak terlalu menarik jadinya. Itu yang membuat kepala saya justru melayang kemana-mana. Mungkin malah ke arah yang tidak terlalu relevan dengan bencana dan gunung berapi, bahkan mungkin tidak juga bisa divalidasi secara sahih kebenarannya secara ilmiah. Jadi ya dengan sejujur-jujurnya sepertinya saya harus lebih dahulu mengakui bahwa ini lebih ke curol nggak jelas saja.
Gunung Rinjani ini berada di Pulau Lombok, yang letaknya di sebelah timur Bali. Saat meletus, kebetulan angin sedang bergerak ke arah barat. Alhasil Bandara Ngurah Rai di Bali terpaksa ikut ditutup selama 2 hari dengan alasan keselamatan penerbangan. Sebagai salah satu destinasi wisata Indonesia yang paling terkenal bukan hanya di kalangan masyarakat Indonesia tetapi juga ke seluruh penjuru dunia, penutupan ini memiliki efek yang sangat besar. Konon hampir 1200 penerbangan terpaksa dibatalkan atau dialihkan. Meskipun Bandara Banyuwangi dan Bandara Lombok juga ditutup, tapi karena frekuensi penerbanyan disana relatif sedikit, hitung-hitungan jumlah tidak terlalu signifikan.
Efeknya terhadap pariwisata … tentunya lumayan. Kalau rata-rata tiap pesawat mengangkut 100 penumpang saja, bisa diperkirakan berapa jumlah wisatawan yang batal datang. Padahal hampir semua pesawat yang keluar-masuk Bali pesawat berukuran besar, bahkan banyak yang kapasitasnya mencapai 300-400 penumpang.
Lucunya … atau nggak lucu sih sebenarnya. Beberapa waktu yang lalu juga ada kejadian yang hampir sama, letusan gunung di pulau tetangga membawa pengaruh yang persis sama, paparan abu vulkanik memaksa sejumlah bandara, termasuk Bandara Ngurah Rai di Bali ditutup. Efeknya sama saja, sejumlah penerbangan yang mayoritas mengangkut wisatawan juga dibatalkan. Malah lebih ribet sebetulnya, karena proses buka-tutup-nya terjadi berkali-kali sehingga menimbulkan ketidak-pastian.
Ini menjadi menarik karena saat itu yang meletus adalah Gunung Raung yang berada di Jawa Timur. Lokasi ini persisnya berada di sebelah barat Bali, juga terpisah selat sempit. Sialnya meskipun berada di sebelah barat, saat itu angin sedang mengarah ke timur.
Jadi dipikir-pikir koq ya sial banget lho Bali ini. Gunung di sebelah barat meletus terkena imbas, gunung di sebelah timur meletus juga tetep terkena. Kalau saat Gunung Rinjani meletus angin ke timur, mestinya yang kena kan Sumbawa, Sumba, Flores, dll. Kalau saat Gunung Raung meletus angin mengarah ke barat, harusnya yang kena kan Jawa Tengah, Jawa Barat, dst. Tapi ya itu, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Jadi apa yang salah dengan Bali sebetulnya? Padahal sepertinya semua stakeholder berusaha habis-habisan menjaga periuk nasi bernama pariwisata ini supaya tetap jalan.
Secara logis, tentu memang ada faktor-faktor alam yang secara alamiah bisa dianalisa. Fenomena yang terjadi itu tentu ada penjelasan ilmiahnya. Tetapi sebagai masyarakat yang secara umum juga mempercayai adanya “kekuatan lain”, baik sekedar kepercayaan kuno ataupun keyakinan agama, sepertinya perlu dilihat juga. Apa mungkin ada “kesalahan” yang dilakukan Bali, masyarakat Bali, pemimpin-pemimpin Bali, yang bisa menjadi alasan bahwa peristiwa ini tidak sekedar fenomena alam semata.
Leave A Comment